Jakarta, Mediatrans.id – Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO) resmi melayangkan surat keberatan kepada Menteri Perhubungan RI atas kebijakan pelarangan kendaraan angkutan barang sumbu tiga atau lebih melintasi jalan nasional Pemalang–Batang.
Kebijakan ini dinilai diskriminatif, tidak adil, dan berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi nasional hingga Rp324 miliar per tahun.Dalam surat resmi bernomor 540/DPP-APTRINDO/V/2025, APTRINDO meminta pemerintah mencabut surat rekomendasi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Nomor AJ.903/1/5/DRJD/2025 yang dijadikan dasar pelarangan truk melintasi jalur tersebut.
Ketua Umum APTRINDO, Gemilang Tarigan menegaskan bahwa aturan ini melanggar asas keadilan dan mengancam kelangsungan dunia usaha logistik nasional.
“Pelarangan ini bukan hanya tidak berdasar hukum, tapi juga mencederai hak publik atas jalan nasional yang dibangun dari uang rakyat,” tegas Gemilang.
Potensi Kerugian Rp27 Miliar Per Bulan
APTRINDO membeberkan hitungan kerugian ekonomi akibat kebijakan tersebut: Rp150 ribu untuk biaya tol tambahan dan Rp150 ribu untuk perawatan kendaraan per unit. Dengan estimasi 3.000 unit truk sumbu tiga yang melintas setiap hari, kerugian harian mencapai Rp900 juta, atau Rp27 miliar per bulan, dan Rp324 miliar per tahun.
Tak hanya itu, ribuan UMKM di sepanjang jalur Pemalang–Batang juga terancam gulung tikar akibat menurunnya arus kendaraan logistik. Warung makan, bengkel, dan SPBU diprediksi akan kehilangan pelanggan utama mereka.
Diskriminasi dan Potensi Konflik Sosial
APTRINDO juga menyoroti diskriminasi kendaraan plat nomor kode “G” yang tetap diperbolehkan melintas tanpa syarat. “Ini bentuk ketidakadilan dan bisa memicu konflik horizontal di lapangan,” ungkap Agus Pratiknyo, Wakil Sekretaris Jenderal APTRINDO.
Kebijakan ini dinilai sebagai preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan karena bisa mendorong daerah lain membuat larangan serupa, yang pada akhirnya merusak sistem logistik nasional.
Desak Peninjauan Kembali
APTRINDO meminta Kementerian Perhubungan meninjau ulang kebijakan secara komprehensif dan melibatkan analisis dampak lalu lintas (ANDALALIN) serta dampak ekonomi. Mereka juga mendorong dialog terbuka antara pelaku usaha dan pemerintah.“Kami tidak menolak pengaturan lalu lintas, tapi jangan sampai kebijakan yang diambil justru menciptakan masalah baru—baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun keselamatan di jalan tol,” kata Gemilang.*(MT-02/R)