Tulisan ini untuk mengenang Nakhoda Kapal Andhika Tarunaga milik perusahaan pelayaran Andhika Lines, Capt. Gita Arjakusuma yang secara heroik berhasil menyelematkan perahu pengungsi Vietnam yang sarat muatan dan nyaris tenggelam di Laut Filipina. Berikut kisahnya.
Sejak merebaknya perang Vietnam yang dimulai pada 1964, hingga jatuhnya Saigon (Ho Chi Minh City) ke tangan Pemerintah Komunis pada musim panas tahun 1975, ratusan ribu penduduk maupun bekas tentara Vietnam Selatan berhamburan meninggalkan Vietnam menyelamatkan diri dengan berbagai cara demi mencari kekebasan.
Mereka menggunakan sampan dan kapal-kapal kayu kecil menyeberangi Laut Cina Selatan. Sebagian lainnya berjalan kaki ratusan kilometer melintasi perbatasan darat. Diperkirakan lebih dari sepertiga di antaranya menemui ajal di laut.
Sebagian lainnya mengalami berbagai bentuk penderitaan, seperti perlakuan tidak manusiawi dari para perompak dan bajak laut, ada pula yang harus menghadapi gelombang dan badai, atau menderita penyakit dan kelaparan.
Itulah yang saya saksikan pada pelayaran dengan kapal MV. Andhika Tarunaga pada tanggal 28 Juni 1981. Saat itu kami tengah membawa muatan rotan dalam perjalanan dari pelabuhan terakhir Miri/Sarawak menuju ke pelabuhan bongkar Hongkong. Di sekitar gugusan karang sebelah barat Pulau Palawan, Filipina, kami menyaksikan sebuah perahu yang nyaris tenggelam.
Ketika itu menjelang shalat Isya saya naik ke anjungan. Dari kejauhan saya mengamati sebuah noktah hitam di depan lambung kiri kapal tampak seperti sesuatu yang terbakar. Saya perintahkan Mualim III agar terus mengawasinya dan Perwira Jaga maupun Kepala Kamar Mesin (KKM) untuk mengubah haluan mendekati noktah yang makin jelas terlihat sebagai sebuah kapal yang sedang meminta pertolongan.
Setengah jam kemudian segalanya menjadi jelas. Kami mendapatkan sebuah kapal kayu berukuran panjang sekitar 7,5 meter dan lebar 2,5 m. Buritan kapal dalam keadaan tenggelam sedangkan anjungannya terbakar. Sementara di dalamnya terdapat puluhan pengungsi Vietnam yang dikenal sebagai the boat people, manusia perahu. Kami dekati lagi hingga kapal merapat. Ternyata kobaran api berasal dari sebuah wajan besar yang diletakkan di anjungan dan di atasnya ditaruh dandang yang terbakar sehingga dari kejauhan tampak seolah-olah seluruh kapal sedang terbakar, padahal itu hanya upaya untuk menarik perhatian.
Kami segera membunyikan alarm supaya semua awak kapal bangun dan bersiap-siap menghadapi situasi yang tidak diharapkan. Sementara kami bersiap-siap, perahu yang dijejali puluhan penumpang itu telah bersandar di lambung kiri kapal kami. Pemandangan sungguh sangat tragis. Pada jarak hanya beberapa meter kami lihat perahu itu berpenumpang kira-kira 40 orang, terdiri dari 19 laki-laki, 9 wanita dan 12 anak-anak, dalam keadaan yang mengenaskan. Anak-anak kecil bertelanjang dada, bergeletakan di atas geladak. Beberapa perempuan mengacung-acungkan tangan sambil menangis meminta agar diperbolehkan naik ke kapal kami.
Kami semua sudah berdiri di pinggir lambung kiri kapal tapi saya perintahkan supaya tangga-tangga segera ditutup mencegah mereka naik, sebab khawatir mereka membawa senjata. Hal-hal semacam ini sudah sering kami dengar, adakalanya mereka menggunakan senjata bahkan bom dengan tujuan untuk memaksa agar mereka diperbolehkan naik ke atas kapal. Atau mereka sengaja merusak perahu yang digunakan supaya mendapat pertolongan dari kapal-kapal lain yang melintas. Pendek kata mereka menggunakan berbagai kiat dan strategi agar dapat selamat dan mencapai tujuan.
Sebab itu kami pandangi mereka dengan lebih cermat. Seorang wanita mengacung-acungkan bayinya, berteriak-teriak histeris, seolah-olah mengatakan kalau mereka tidak ditolong bayi itu akan dibuangnya ke laut!
Semua Awak Kapal berpikir keras, apa yang harus kami lakukan? Sebagai Nakhoda saya menghadapi situasi yang sangat pelik. Saya tahu, dalam kondisi semacam ini terdapat dua peraturan yang saling bertentangan, tapi saya dituntut untuk segera menentukan sikap dan memutuskan secara bijaksana meskipun risikonya berat. Saya panggil seluruh Perwira kemudian saya perintahkan Motor Driver S. Karnomo dan seorang ABK untuk turun mengecek ke kapal mereka.
Sepuluh menit kemudian mereka sudah kembali dan melaporkan bahwa kondisi kapal memang sangat buruk. Mesin sudah tidak dapat dijalankan, motor penggerak (Yanmar TS 60) dalam keadaan rusak, malah as baling-baling pun patah, di sana-sini terdapat kebocoran. Sementara itu banyak orang dalam keadaan pingsan karena bahan makanan sudah tidak ada lagi. Laporan itu saya terima dengan cemas.
Di tengah kebuntuan situasi, tiba-tiba seorang awak kapal mendatangi saya sambil berteriak memprotes agar jangan sampai Pengungsi Vietnam itu diangkat ke kapal karena adanya larangan dari Pemerintah RI. Saya tenangkan dia, lalu saya katakan, sebagai Nakhoda saya bertanggungjawab atas tindakan yang akan saya putuskan. Dalam menghadapi situasi ini, kami memang menghadapi dua peraturan yang saling bertentangan. Pertama, peraturan Pangkopkamtib yang ditujukan kepada semua Nakhoda Kapal, bahwa dalam keadaan bagaimanapun juga Nakhoda dan Awak Kapal dilarang mengangkat Pengungsi Vietnam ke atas kapal dan membawa mereka ke Indonesia.
Di pihak lain kami menghadapi ketentuan internasional seperti tercantum dalam Safety Of Life At Sea (SOLAS) yang salah satu chapter-nya tentang safety navigation yang menyebutkan bahwa setiap Nakhoda Kapal, Awak Kapal, yang melihat suatu permintaan pertolongan dari kapal lain yang sedang mengalami musibah di tengah lautan, diwajibkan memberikan pertolongan meskipun kapal itu adalah musuh negara. Itulah ketentuan hukum internasional. Kami benar-benar menghadapi situasi yang dilematis. Tetapi bila kami melihat kembali keadaan para pengungsi Vietnam yang berteriak histeris, begitu juga anak-anak kecil yang bergeletakan di lantai geladak, saya sulit membayangkan jika hal demikian terjadi pada diri kita sendiri atau anak-anak kita, keponakan-keponakan kita, termasuk yang masih bayi. Sungguh mati, hal ini terasa amat amat memilukan, bahkan bisa membuat keguncangan jiwa pada diri kita masing-masing. Sebagai manusia normal kita tidak akan merasa tenteram dengan membiarkan begitu saja orang-orang dalam keadaan terancam maut sementara kita sebetulnya mampu menolong. Jadi, meskipun bertentangan dengan peraturan Pemerintah saya dengan sadar terpaksa mengabaikannya semata-mata demi kemanusiaan. Terlebih lagi mereka tidak dapat dikategorikan sebagai musuh negara.
Akhirnya bulat sudah keputusan yang harus saya ambil. Saya panggil Perwira I, Kepala Kamar Mesin dan para ABK. Di hadapan mereka dengan lantang saya katakan: “Kita harus mengangkat para pengungsi itu ke atas kapal. Saya bertanggungjawab secara pribadi! Jangan khawatir kalian akan ikut menanggung risiko atas tindakan saya ini!”