Setelah komando saya berikan, segera tangga kapal diturunkan. Kemudian saya perintahkan beberapa ABK membantu para pengungsi naik ke atas kapal Andhika Tarunaga. Sungguh tragis, begitu diangkat ke atas geladak, satu-persatu berjatuhan dan terkulai lemah dalam keadaan pingsan. Beberapa anak kecil harus digendong, di antaranya ada bayi perempuan yang masih merah berumur dua bulan dan terus menerus menangis telanjang kedinginan tanpa dibalut sehelai benang pun. Serta merta bayi itu dibungkus dengan kain majun dan dibawa ke ruang salon Perwira.
Perahu mereka kami ikat dengan tali tros agar bisa ditarik oleh kapal kami, dengan harapan sesampai di perairan Hongkong perahu tersebut bisa diperbaiki, para pengungsi bisa dikembalikan ke perahunya untuk pergi ke mana mereka kehendaki dan kami tidak bertanggung jawab lagi.
Sebelum mereka semua diangkat saya sudah perintahkan koki untuk menyiapkan makanan sekedarnya, antara lain bubur, sebab kami bisa menduga sudah cukup lama mereka menahan lapar. Menurut pengakuan mereka, sekitar 9 hari mereka terapung-apung tanpa makan dan minum sejak keberangkatan mereka tanggal 19 Juni 1981 dari pelabuhan Phun Khanh, Vietnam Selatan.
Saya bersyukur dan sangat berterima kasih pada seluruh ABK karena mereka benar-benar membantu setulus-tulusnya. Beberapa ABK segera memberikan selimut dan pakaian untuk menutupi dan menghangatkan badan para pengungsi. Saya minta supaya para pengungsi dipindahkan ke ruang salon ABK. Dengan demikian seluruh Perwira dan ABK menjadi satu di ruang makan, karena ruang makan Tamtama dan Bintara pun dipakai oleh para pengungsi.
Dini hari tanggal 29 Juni 1981 sekitar pukul 03.30, saya bangun dan langsung naik ke anjungan. Bersama Mualim II, kami beranjak ke buritan untuk mencek apakah perahu yang kami tunda sejak tadi malam masih tampak atau tidak. Ketika itu cuaca sangat gelap karena sekitar 200 mil di belakang kami atau sebelah timur Hongkong yaitu Laut Cina Selatan, baru saja dilanda badai tropis.
Cukup lama kami mengamati keadaan sekeliling, tapi tak tampak lagi perahu itu. Kami coba menelusuri tali tross yang menghubungkan kapal kami dengan perahu kayu itu, tampak tinggal tiang lingginya saja yang masih terapung-apung. Kami berkesimpulan perahu itu memang sudah sangat rapuh. Sebab ketika kami tarik dengan kecepatan sekitar 10 knot, ia sudah tak bisa bertahan lagi. Kini mungkin sudah berantakan disapu gelombang. Kami harus mengolah gerak kapal dan menarik tali tross kembali ke atas kapal, karena apabila tali yang dipakai menarik perahu tersebut sampai membelit propeler, hal itu bisa membahayakan.
Yang Memuji dan Yang Mencaci
Saat itu kami berada sekitar lima mil dari gugusan karang Palawan, Filipina. Tepatnya pada posisi: sekitar 50 mil barat daya Scarborough Reef atau sekitar 150 mil pantai barat Luzon, atau sekitar 450 mil tenggara Hongkong, atau sekitar 470 mil pantaitimur Vietnam. Perjalanan ke Hongkong masih harus ditempuh satu setengah hari lagi.
Pelayaran kami teruskan. Menjelang matahari mulai terbit terjadi kesibukan di anjungan. Mualim I diinstruksikan untuk segera menentukan posisi kapal. Markonis mengirim laporan kepada Agen kami di Hongkong bahwa kami dengan tidak dapat dihindari lagi mengangkat sebanyak 40 pengungsi Vietnam yang jiwanya terancam di laut dan perahu mereka yang sudah kami upayakan untuk ditarik sudah hancur disapu gelombang. Kami juga mengirim telegram ke radio pantai stasiun Hongkong mengenai hal yang sama.
Tiga jam kemudian kami menerima dua telegram sekaligus dari radio pantai di Hongkong yang membatalkan berita sebelumnya bahwa kami diizinkan masuk di pelabuhan Hongkong untuk menambatkan kapal di bouy 6. Karena kami membawa pengungsi Vietnam yang sebelumnya tidak terdaftar di kapal, maka izin yang sudah diberikan itu dibatalkan. Kami diperintahkan menuju ke areal karantina di sebelah selatan Wang Lang Island.
Kami pun segera memutar kemudi menuju ke sana. Pada pukul 05.30 pagi kami sudah melaporkan ke radio kontrol di Hongkong bahwa dalam beberapa jam lagi kami akan berada di Quarantine Area. Sebelum merapat telah kami siapkan berita acara yang disusun oleh Mualim I secara lengkap tentang posisi kami ketika menemukan para pengungsi itu dan mencatat waktu kami mengangkat mereka
Tiba di areal karantina kami melempar sauh. Beberapa menit kemudian, datang menghampiri kapal Patroli, kapal Imigrasi dan kapal Bea Cukai dari Pemerintah Hongkong yang waktu itu masih dalam protektorat Kerajaan Inggris. Di antara petugas Imigrasi dan Bea Cukai juga hadir seorang Komisioner UNHCR (komisi PBB yang bertanggungjawab menangani masalah pengungsi).
Sebenarnya di Hongkong sudah ada tempat penampungan bagi para pengungsi Vietnam yang sekitar tahun 1982 memang banyak berdatangan ke sana. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa para pengungsi Vietnam itu sebenarnya orang kaya. Mereka lari dari negaranya dengan membawa berkilo-kilo emas dan harta kekayaan yang dimilikinya, sehingga bisa saja hal itu digunakan oleh para Nakhoda sebagai kesempatan untuk berbisnis. Itu pulalah yang menjadi pokok pemikiran para petugas, apakah saya juga bisa dikategorikan Nakhoda seperti itu? Tapi setelah mereka mencek posisi sesuai dengan berita acara yang kami berikan, mereka pun percaya bahwa kami benar-benar menolong para pengungsi
itu dari ancaman maut, bahwa para pengungsi Vietnam yang kami bawa itu bukan suatu rekayasa atau sebagai upaya mencari keuntungan sebagaimana sering terjadi sebelumnya
Komisioner PBB menjabat tangan saya seraya mengatakan bahwa ia salut atas tindakan awak kapal Andhika Tarunaga yang saya pimpin, lebih-lebih karena kami adalah orang Indonesia. Ia mengatakan selama ini banyak para pengungsi Vietnam yang bertebaran di sekitar Laut Cina Selatan tapi jarang sekali ada kapal Indonesia yang mau menolong. Komisi PBB tahu tentang adanya peraturan dari Pemerintah Indonesia yang tidak mengizinkan Nakhoda kapal mengangkat dan membawa para pengungsi Vietnam ke wilayah Indonesia.
Komisioner PBB itu menyampaikan kekagumannya atas sikap saya yang menurut hukum internasional justru dibenarkan. Tapi ia pun mengakui masalah pengungsi Vietnam ini bisa menyulitkan semua pihak, terutama bagi diri saya pribadi sebagai Nakhoda, karena meskipun secara internasional tindakan saya dibenarkan tetapi risiko selanjutnya akan sangat tergantung pada sikap Pemerintah RI atau bahkan sikap dari perusahaan tempat saya bekerja, yaitu Andhika Lines.
Sesudah itu Petugas Imigrasi menyerahkan dokumen yang harus saya tandatangani. Di situ disebutkan nama kapal, Nakhoda, jumlah pengungsi lengkap dengan nama-nama mereka. Saya pun diminta menandatangani pernyataan yang menyebutkan bahwa saya bertanggungjawab terhadap keberadaan para pengungsi Vietnam itu jika mereka melarikan diri setibanya di Hongkong.
Selanjutnya: Kisah Heroik Nakhoda Kapal Andhika Lines Menyelamatkan Perahu Pengungsi Vietnam: Dibantu Jalur Diplomatik