Jakarta, Mediatrans.id – Setiap harinya, pelabuhan Shanghai tampak seperti jantung ekonomi dunia yang berdetak cepat. Ribuan kontainer menumpuk, kapal silih berganti datang dan pergi, dan container crane bergerak tanpa henti.
Namun di balik aktivitas yang nyaris tanpa jeda itu, ada perjuangan besar yang tidak selalu terlihat mata: upaya China melawan kemacetan pelabuhan yang sempat mengancam rantai pasok global.
Kemacetan pelabuhan bukan sekadar masalah antrean kapal atau keterlambatan pengiriman barang. Ini adalah soal ritme perdagangan dunia yang bisa terganggu hanya karena satu simpul tersendat.
China, sebagai negara dengan pelabuhan-pelabuhan tersibuk di dunia seperti Shanghai, Ningbo, dan Shenzhen, tahu betul betapa krusialnya menjaga kelancaran arus barang.
Sebagai gambaran tingginya aktivitas bongkar muat petikemas, pelabuhan di China menangani sekitar 268,99 juta TEUs pada tahun 2022.
Pelabuhan Shanghai menjadi salah satu yang terpadat di dunia, dengan throughput peti kemas yang mencapai 47,33 juta TEUs pada 2021.
Sedangkan Pelabuhan Ningbo-Zhoushan mencatatkan throughput kargo lebih dari 1,37 miliar ton pada 2024, menempatkannya sebagai pelabuhan dengan throughput kargo tertinggi di dunia selama 16 tahun berturut-turut. Sedangkan troughput petikemas mancapai 33,35 juta TEUs pada tahun 2022.
Pada tahun yang sama pelabuhan di China lainnya, Shenzhen, berhasil mencapai troughput 30.040.000 TEUs.
Dengan tingginya aktivitas bongkar muat, ancaman kongesti yang bisa berdampak pada kemacetan pun menjadi tantangan tersendiri.
Jawaban mereka datang lewat inovasi dan keberanian bertransformasi. Otomatisasi dan digitalisasi menjadi senjata utama. Di pelabuhan Ningbo, misalnya, teknologi kecerdasan buatan (AI) dan Big Data diterapkan untuk merancang jalur kerja yang efisien. Bahkan, sistem manajemen lalu lintas kapal di sana dapat memprediksi waktu bongkar muat hanya dalam hitungan detik—sesuatu yang tak terbayangkan satu dekade lalu.
Tapi bukan hanya teknologi yang digenjot. Fisik pelabuhan pun berubah. Terminal diperluas, dermaga baru dibangun, dan kedalaman pelabuhan ditambah agar kapal berukuran raksasa dapat bersandar. Semua dilakukan untuk satu tujuan: menampung lebih banyak, lebih cepat, lebih efisien.
Sementara itu, strategi cerdas lain juga dijalankan: diversifikasi rute. Daripada memusatkan semua arus ke pelabuhan utama, sebagian lalu lintas dialihkan ke pelabuhan alternatif yang lebih lengang. Jalur darat dan kereta api ke wilayah pedalaman turut diperkuat, sejalan dengan visi besar Belt and Road Initiative (BRI) yang menghubungkan China dengan berbagai belahan dunia.
Pemerintah juga turun tangan dalam mengatur jadwal kapal, mempercepat proses bea cukai, hingga membangun pusat logistik terpadu. Semua langkah ini seperti bagian dari orkestra yang ditata rapi—dan hasilnya terasa nyata. Kemacetan menurun, efisiensi meningkat, dan pelabuhan China kembali menjadi simpul vital perdagangan global.
Cerita ini bukan hanya soal infrastruktur atau teknologi canggih. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah negara membaca tantangan zaman dan menjawabnya dengan kerja nyata. Dari balik kontainer dan kapal-kapal raksasa itu, ada bukti bahwa inovasi dan visi strategis mampu menggerakkan dunia. (Berbagai sumber)