“Penanganan keselamatan jalan butuh pendekatan luar biasa, bukan lagi upaya setengah hati,” – Djoko Setijowarno, Akademisi Teknik Sipil Unika Soegijapranata yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).
Jakarta, Mediatrans.id – Setiap tahun, ribuan nyawa melayang di jalan raya Indonesia. Di balik angka-angka kecelakaan itu, tersembunyi tragedi keluarga, luka mendalam, dan sistem transportasi darat yang dinilai terus lalai menjalankan perannya menjaga keselamatan.
Tahun 2022 mencatat angka yang mencemaskan: 5.936 orang meninggal akibat kecelakaan truk besar, sementara 161.000 lainnya terluka. Ironisnya, sebagian besar korban bukanlah pengemudi truk itu sendiri, melainkan pengguna jalan lain.
Jalan pedesaan dan antar kota menjadi saksi bisu dari tragedi yang terus berulang—disebabkan oleh rem blong, sopir mengantuk, kendaraan tak laik jalan, atau pengemudi yang kelelahan memaksa diri terus melaju.
Situasi ini seharusnya menjadi cukup alasan untuk melakukan langkah tegas pembentukan Satuan Tugas Darurat Keselamatan Transportasi Darat.
Lembaga ini, jika terbentuk, akan menyerupai Gugus Tugas Penanganan Covid-19, dipimpin oleh TNI dan dibentuk melalui Instruksi Presiden.
Lebih dari itu, pemerintah sebaiknya tidak memangkas anggaran KNKT demi efisiensi belaka. Sesuai fungsinya, KNKT berada di garis depan investigasi dan rekomendasi keselamatan.
“Penanganan keselamatan jalan butuh pendekatan luar biasa, bukan lagi upaya setengah hati,” ujar Djoko Setijowarno, Akademisi Teknik Sipil Unika Soegijapranata yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).
Menurutnya, dari hasil investigasi terhadap kecelakaan-kecelakaan sejak 2015, Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) menyimpulkan adanya pola kegagalan sistematis: buruknya pemeliharaan kendaraan, tidak adanya manajemen kelelahan pengemudi, serta lemahnya pembinaan dan penindakan atas pelanggaran.
Di Balik Kaca Spion: Keletihan yang Mengintai
Faktor kelelahan pengemudi menjadi musuh dalam selimut. Hingga kini, tidak ada regulasi khusus yang membatasi jam kerja sopir dalam skala mingguan atau bulanan. Jika dalam dunia penerbangan atau kereta api ada sistem manajemen kelelahan, moda darat justru tertinggal jauh.
Karena itu, Kementerian Perhubungan sebaiknya mengatur ulang pola kerja ini, termasuk pembinaan kepada operator jasa angkutan agar tidak semata mengejar keuntungan.
“Sudah waktunya manajemen kelelahan menjadi bagian dari SOP di semua perusahaan angkutan,” paparnya.
Kesehatan Pengemudi: Nyawa yang Dipertaruhkan
Di sisi lain, hasil kerja sama KNKT dengan Universitas Gajah Mada dan Pertamina Patra Niaga mengungkap fakta mengejutkan: lebih dari 50 persen pengemudi dinyatakan tidak fit secara medis. Namun tidak ada sistem sanksi atau pembekuan izin mengemudi layaknya sektor penerbangan.
Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah harusnya sudah mengambil kebijakan agar medical check-up (MCU) menjadi kewajiban tahunan, bahkan bisa diakses lewat BPJS. Tanpa tubuh yang prima dan mental yang stabil, pengemudi tak ubahnya bom waktu di jalan raya.
Tumpulnya Pembinaan, Lemahnya Penegakan
Persoalan lain yang mengemuka saat ini masih ada truk dan bus masih beroperasi tanpa uji berkala atau izin resmi. Regulasi pun kerap tidak diterjemahkan sama antara satu daerah dan lainnya.
Salah satu contoh paling nyata adalah persoalan kendaraan Over Dimension Over Loading (ODOL) yang sudah menjadi epidemi tersendiri di jalan raya. Kendaraan-kendaraan ODOL melaju dengan tubuh yang tidak sesuai standar, mengancam keselamatan dan mempercepat kerusakan jalan.
“Karena itu penting dibentuk forum pemberantasan ODOL lintas kementerian dan lembaga, yang mencakup aspek keselamatan, hukum, industri, hingga sosial dan ekonomi,” imbuhnya.
Langkah Nyata atau Sekadar Rekomendasi?
Kini, bola ada di tangan pemerintah. Dibutuhkan komitmen politik dan keseriusan lintas sektor, jalan raya agar jalan raya tidak menjadi arena pertaruhan nyawa.
“Jangan tunggu korban berikutnya untuk bertindak,” pungkasnya. (Rel/Karnali Faisal)