Jakarta, Mediatrans.id – Ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal sebesar 32 persen, dunia berguncang. Bagi sebagian besar negara, kebijakan ini dianggap ancaman serius terhadap kelangsungan perdagangan global. Tapi bagi Indonesia, dampaknya tidak serta-merta jadi bencana.
Ekonom senior Dr. Chatib Basri menyebut keputusan Trump bukanlah soal ekonomi semata, melainkan bagian dari strategi politik global yang kompleks. Dalam wawancara bersama Rosiana Silalahi, ia membedah dinamika kebijakan itu, dampaknya ke Indonesia, dan bagaimana pemerintah seharusnya merespons.
Bukan Sekadar Tarif
Chatib menyebut kebijakan tarif Trump sebagai bagian dari “bargaining game” atau strategi tawar-menawar. Dalam pandangannya, Trump menggunakan tarif sebagai senjata diplomasi, bukan sebagai tujuan akhir. Tujuannya adalah menekan negara-negara mitra dagang agar bersedia melakukan renegosiasi dengan syarat yang menguntungkan Amerika Serikat.
“Trump menjadikan kebijakan perdagangan sebagai senjata. Ini bukan soal angka tarif, tapi alat negosiasi,” ujarnya. Strategi ini sempat membuahkan hasil. Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, segera merespons dengan mengirim delegasi diplomatik.
Namun ada risiko besar: eskalasi. Ketika Cina membalas tarif Amerika, Trump menaikkan lagi hingga 125 persen. Pasar saham dunia anjlok, nilai tukar bergejolak, dan kekhawatiran akan perang dagang besar-besaran mencuat.
Dampak Bagi Indonesia
Di tengah kecemasan global, Chatib Basri menilai Indonesia punya keunggulan struktural. Ekonomi domestik yang besar dan ketergantungan ekspor yang rendah membuat Indonesia relatif lebih tahan terhadap guncangan eksternal.
Ekspor Indonesia hanya berkontribusi sekitar 25 persen terhadap PDB, dan ekspor ke Amerika hanya 10 persen dari total ekspor. Dengan kata lain, pengaruh tarif Trump secara langsung hanya mengenai 2,5 persen dari PDB nasional.
“Berkat struktur ekonomi domestik yang dominan, Indonesia tidak akan terpukul sedalam negara-negara seperti Singapura atau Vietnam,” kata Chatib. Bahkan jika ekspor ke Amerika terhenti, dampaknya dinilai masih bisa dikelola.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa keterlambatan respons komunikasi pemerintah—terutama saat pengumuman tarif terjadi saat libur panjang—menimbulkan kesan kurangnya sense of crisis. “Sebetulnya, pemerintah bertindak cepat, tapi komunikasi publiknya yang lemah,” ujarnya.
Persoalan Dalam Negeri
Meski dampak eksternal relatif kecil, Indonesia masih belum bisa dianggap baik-baik saja. Chatib menyoroti bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi nasional stagnan di angka pertumbuhan 5 persen. Lebih dalam lagi, ketimpangan sosial makin menganga.
“Kelompok 40 persen terbawah mengalami pertumbuhan pengeluaran yang sangat rendah. Kelas menengah justru alami kontraksi,” kata Chatib, mengutip data 2019–2023.
Parahnya lagi, lapangan kerja yang tercipta mayoritas bersifat informal. Ini menyebabkan pendapatan yang tidak stabil dan rentan terhadap guncangan ekonomi. Situasi ini diperburuk dengan ancaman PHK massal di awal tahun 2025, dengan estimasi 25.000 pekerja kehilangan pekerjaan dalam tiga bulan pertama.
Konsumsi Domestik
Kekuatan utama Indonesia, menurut Chatib, ada pada konsumsi domestik. Maka, strategi utama pemerintah seharusnya bukan hanya bertahan dari dampak luar, tapi mengaktifkan permintaan dalam negeri.
Ia mendorong dua arah kebijakan: deregulasi untuk menurunkan biaya produksi ekspor, dan stimulus fiskal yang menyasar langsung daya beli rakyat kecil.
“Kalau orang miskin dikasih uang, pasti dibelanjakan. Belanja adalah pangkal pemulihan,” katanya. Ia juga menyarankan pemerintah memprioritaskan belanja pada sektor dengan dampak cepat dan luas, seperti pariwisata.
Namun, ia mengingatkan pentingnya disiplin fiskal. “Anchor-nya defisit anggaran. Harus dijaga di bawah 3 persen. Menteri Keuangan sudah menegaskan itu,” ujarnya.
Rupiah, Resesi, dan Kepercayaan
Banyak yang beranggapan Ketika nilai tukar Rp17.000 per dolar AS sudah mencapai ambang psikologis. Tapi Chatib menegaskan bahwa kondisi saat ini sangat berbeda dari krisis 1998. “Inflasi masih rendah, utang luar negeri terkelola, sistem perbankan sehat,” katanya.
Yang paling penting saat ini, lanjut Chatib, adalah membangun ekspektasi positif. Ia mengutip Keynes: masa depan dibentuk bukan oleh masa lalu, tapi oleh harapan.
“Kalau pelaku usaha yakin pemerintah tahu apa yang dilakukan, mereka akan bergerak. Dunia usaha tidak butuh dibantu, cukup jangan diganggu,” ujarnya.
Menjawab dengan Kepastian
Di tengah tekanan global dan kegelisahan domestik, arah kebijakan Indonesia membutuhkan ketegasan, ketepatan, dan kecepatan. Chatib percaya, jika pemerintah mampu menciptakan kepastian, mengeksekusi stimulus dengan cepat, dan menjaga komunikasi dengan masyarakat serta pelaku usaha, kepercayaan akan tumbuh.
“Ekonomi kita tidak sempurna, tapi relatif lebih stabil,” pungkasnya. ***