Jakarta, Mediatrans.Id – Di pesisir Jakarta, di tepi laut yang tak pernah tidur, berdiri kokoh Pelabuhan Tanjung Priok. Ia bukan sekadar pelabuhan, melainkan saksi bisu pergulatan bangsa: dari masa kejayaan kerajaan, kolonialisme, penjajahan, kemerdekaan, hingga era modernisasi dan globalisasi. Di pelabuhan inilah denyut sejarah Indonesia berdetak dengan keras, penuh darah, keringat, dan strategi geopolitik.
Awalnya, dunia mengenalnya sebagai Sunda Kelapa—pelabuhan milik Kerajaan Pajajaran. Tahun 1522, kapal-kapal Portugis berlabuh di sini, membuka babak baru hubungan diplomatik dan dagang. Namun, hubungan itu segera berubah jadi ajang perebutan kekuasaan. Fatahillah, panglima dari Kesultanan Demak, datang menggempur, merebut, lalu menamai pelabuhan ini Jayakarta—kemenangan yang jadi asal muasal kota Jakarta.
Tiga abad kemudian, penjajah Belanda menduduki pelabuhan dan menamainya Batavia. Sunda Kelapa menjadi sempit dan tua, tak lagi mampu mengimbangi derasnya arus perdagangan dunia. Maka, pada 1877, pemerintah kolonial mulai membangun pelabuhan baru: Tanjung Priok.
Namun, di balik rencana besar itu, ada cerita kelam yang nyaris terlupakan: ribuan budak belian dipaksa bekerja siang malam, tanpa perlindungan hukum, banyak yang meregang nyawa. Sebuah harga mahal yang dibayar demi menghadirkan kolam pelabuhan yang kokoh menantang gelombang.
Tanjung Priok terus tumbuh. Seiring dibukanya Terusan Suez, kapal-kapal dari Eropa mulai membanjiri Nusantara. Namun, tak semua berjalan mulus. Tahun 1912, pelabuhan dilanda kongesti hebat: kapal antre, gudang penuh, logistik lumpuh. Pemerintah Belanda pun membangun jalur kereta api dan memperluas alur pelayaran. Sebuah upaya menciptakan sistem transportasi terpadu yang revolusioner pada masanya.
Saat Jepang datang tahun 1942, Priok kembali dihantam badai. Fasilitas dibakar oleh tentara Belanda, kapal ditenggelamkan untuk menutup jalur. Jepang mencoba membangun kembali, tapi kekurangan tenaga. Romusha dan Heiho dikerahkan, pelabuhan kembali menjadi tempat penderitaan manusia.
Pasca-kemerdekaan, Priok tak langsung pulih. Di tahun 1950-an, barang menumpuk, fasilitas tak memadai, dan kapal antre berhari-hari. Pemerintah pun membangun Pelabuhan Nusantara, memperluas kolam, dan mulai menggarap kembali rawa-rawa di sekitarnya.
Namun, kongesti seperti sudah jadi langganan. Tahun 1970-an, penyakit lama kembali menyerang. Barang tak bertuan menumpuk akibat birokrasi rumit dan maraknya pungli.
Untuk mengatasinya, dibentuk Tim Walisongo. Di tengah kekacauan, seorang nama mencuat: JE Habibie—mantan perwira laut yang ditunjuk menjadi Administrator Pelabuhan. Ia membawa misi penertiban lewat “Operasi Bersih” dan “Operasi Lancar”.
Habibie tak hanya menertibkan, ia juga memikirkan masa depan. Lewat kerja sama dengan Pelabuhan Amsterdam, generasi baru profesional pelabuhan Indonesia mulai dicetak. Pelabuhan bukan hanya urusan dermaga, tapi juga manajemen modern.
Puncaknya datang ketika dunia memasuki era containerisasi. Barang tak lagi diangkut satuan, tapi dalam peti kemas yang efisien. Tanjung Priok pun berbenah. Dermaga peti kemas dibangun, terminal modern berdiri, dan arus kapal melonjak drastis. Pelabuhan Tanjung Priok resmi masuk ke era baru.
Kini, Priok tak lagi sekadar tempat bongkar muat. Ia adalah nadi perdagangan, pintu gerbang ekonomi, dan simbol ketahanan logistik nasional. Di balik deru derek dan riuh kapal, ada sejarah panjang yang terus bergema—sejarah yang dimulai dari Sunda Kelapa, melintasi Jayakarta, Batavia, hingga menjadi Tanjung Priok yang modern.