Jakarta, Mediatrans.id – Dalam pandangan Ignasius Jonan, kepemimpinan bukanlah soal gelar atau silsilah prestasi akademik yang bertumpuk. Ia menjadikan kerja keras sebagai pilar utama seorang pemimpin.
Menurut mantan Menteri Perhubungan dan Menteri ESDM tersebut, dari kisah Thomas Alva Edison, ada sebuah pelajaran penting: tak perlu terpaku pada penilaian orang lain untuk membuktikan kemampuan diri.
Edison, yang dikeluarkan dari sekolah karena dianggap tak mampu, justru menjadi penemu besar karena kerja keras dan ketekunannya. Ini selaras dengan prinsip Jonan: “Ilmunya itu kerja keras. Tidak ada lain.”
Jonan bukanlah tipe pemimpin yang memuja teori. Baginya, akal sehat kerap lebih efektif daripada tumpukan studi. Saat menjabat di perkeretaapian, ia tak perlu gelar profesor untuk menyelesaikan persoalan keausan rel di Sumatera.
Ia cukup menelusuri penyebabnya langsung ke lapangan dan mengambil keputusan praktis: pasang timbangan di lokasi muat batu bara. Masalah pun selesai, dan ratusan miliar rupiah bisa dihemat. Di sinilah letak karakter Jonan: kepemimpinan yang membumi, berani mengambil keputusan dengan logika sederhana, bukan sekadar rumus ilmiah.
Namun kerja keras saja tak cukup. Jonan percaya bahwa passion—cinta pada pekerjaan—adalah bahan bakar utama dalam memimpin.
Ia mengutip Confucius: “Choose a job you love, and you will never have to work a day in your life.” Artinya, pemimpin yang sejati adalah mereka yang menikmati pekerjaannya, bukan sekadar menggugurkan kewajiban atau mengejar gaji.
Di era yang terus berubah, Jonan menekankan pentingnya adaptasi. Ia menyoroti bahaya ketika senioritas justru menjadi penghambat. “Kematangan itu manfaatnya kurang, kalau tidak bisa mengikuti perkembangan zaman,” ujarnya. Pemimpin, menurutnya, harus terus belajar, membuka diri terhadap cara baru, bahkan dari generasi lebih muda.
Jonan juga memetik inspirasi dari para pemimpin dunia. Dari Gandhi, ia mengingatkan bahwa pemimpin harus menjadi teladan perubahan. Dari John Quincy Adams, ia mengajarkan bahwa pemimpin adalah mereka yang mampu menginspirasi orang lain untuk tumbuh dan menjadi lebih baik. Kepemimpinan yang sejati, kata Jonan, bukan menciptakan pengikut, tapi menciptakan lebih banyak pemimpin.
Terakhir, Jonan mengingatkan: kepemimpinan sejati diuji bukan dalam penderitaan, tapi dalam kekuasaan. “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power,” kutipnya dari Abraham Lincoln. Inilah ujian tertinggi: apakah seseorang tetap jujur, rendah hati, dan melayani ketika diberi kuasa?

Ignasius Jonan mungkin tak pernah bermimpi menjadi menteri. Tapi dedikasinya di kereta api membuatnya dipercaya Presiden. Ia membuktikan bahwa kepemimpinan sejati lahir dari kerja keras, keberanian mengambil keputusan, ketulusan untuk melayani, dan kesediaan untuk terus berubah mengikuti zaman. Dalam dirinya, kita melihat bahwa menjadi pemimpin bukanlah tujuan akhir, melainkan tanggung jawab untuk menciptakan perubahan dan memberi makna bagi banyak orang. Semoga Bermanfaat.*** [Karnali Faisal]