Bitung, Mediatrans.id – Terminal Petikemas (TPK) Bitung di Sulawesi Utara semakin menunjukkan potensinya sebagai gerbang ekspor-impor Indonesia Timur. Dengan lokasi strategis, infrastruktur memadai, dan konektivitas yang meningkat, pelabuhan ini dinilai mampu menjadi simpul logistik nasional. Namun, di balik lonjakan arus kontainer dan dukungan berbagai pihak, masih banyak tantangan serius yang harus diselesaikan untuk mewujudkannya.
Kata kunci: TPK Bitung, ekspor impor Bitung, pelabuhan Indonesia timur, arus peti kemas, logistik nasional, direct call pelabuhan, KEK Bitung.
Menurut data manajemen TPK Bitung yang dikelola PT Pelindo Terminal Petikemas, arus peti kemas mengalami pertumbuhan signifikan. Selama 2024, volume peti kemas tercatat 280.699 TEUs, naik dari 254.643 TEUs di 2023. Bahkan, arus ekspor-impor meningkat tajam 166 persen, dari 3.566 TEUs menjadi 9.497 TEUs.
“Dengan potensi seperti ini, TPK Bitung siap menjadi hub utama ekspor-impor Indonesia timur,” ujar Muhammad Habibi, Manajer Pengelolaan Operasi TPK Bitung.
TPK Bitung memiliki sejumlah keunggulan geografis. Lokasinya hanya 30 menit dari Kota Manado lewat tol, 20 menit dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung, serta berada di jalur strategis ALKI II dan III, yang menghubungkan perdagangan Asia Pasifik.
Dermaga TPK Bitung juga mampu melayani kapal besar jenis Post Panamax berkat kedalaman hingga minus 15 meter dan lebar alur pelayaran 600 meter—jauh di atas rata-rata pelabuhan lain. Tak heran, pada triwulan I 2025 tercatat 98 kapal bersandar, meningkat dari 81 kapal pada periode sama tahun lalu.
Komoditas ekspor unggulan dari Bitung antara lain ikan kaleng, produk turunan kelapa, kertas, dan pala yang dikirim ke Amerika, China, Belanda, hingga Jepang. Sedangkan impor meliputi kertas bekas, baja, dan minyak nabati dari China, Thailand, dan Vietnam.
Namun, belum adanya layanan pelayaran langsung (direct call) secara konsisten menjadi ganjalan utama. Tahun lalu, pelayaran langsung dari dan ke China sempat dilakukan oleh SITC, tetapi saat ini kembali mengandalkan pelabuhan transit seperti Jakarta atau Surabaya. Ini membuat waktu tempuh lebih lama dan biaya logistik lebih tinggi.
“Jika direct call kembali berjalan penuh, waktu tempuh hanya lima hari. Tapi saat ini, bisa 20 hari karena harus transit,” ujar Ivone Kondoy, staf ekspor PT Futai Sulut.
Permasalahan lain adalah ketidakseimbangan muatan. Kontainer dari wilayah barat ke Bitung selalu penuh, tapi sebaliknya, muatan balik hanya 20 persen. Hal ini terjadi karena minimnya industri besar di Sulawesi Utara dan ketergantungan pada komoditas mentah.
Kepala PT SPIL Cabang Bitung, Dody Priambodo, menegaskan bahwa biaya logistik Indonesia timur tinggi karena ketimpangan distribusi. “Di Bitung, industri besar masih kurang. Ini sebabnya pengiriman balik selalu kosong,” katanya.
Selain itu, meski fasilitas seperti yard dan kapasitas terminal masih di bawah batas maksimal, kelaikan alat bongkar muat jadi perhatian. Dari lima unit container crane (CC), satu tidak maksimal, dan beberapa RTG perlu perbaikan.
Meski demikian, dukungan dari instansi seperti Bea Cukai dan Karantina sudah mengarah pada layanan digital yang efisien. Kementerian Perindustrian pun mengusulkan Bitung sebagai pintu masuk tujuh komoditas impor strategis seperti elektronik dan tekstil.
Dengan kapasitas yang belum terpakai sepenuhnya dan potensi pasar yang terus berkembang, TPK Bitung memiliki peluang besar menjadi pelabuhan andalan di timur Indonesia. Namun, perlu kerja bersama lintas sektor untuk mengatasi hambatan infrastruktur, logistik, dan industri.* (MT-03/KID)
