Komisioner PBB menjabat tangan saya seraya mengatakan bahwa ia salut atas tindakan awak kapal Andhika Tarunaga yang saya pimpin, lebih-lebih karena kami adalah orang Indonesia. Ia mengatakan selama ini banyak para pengungsi Vietnam yang bertebaran di sekitar Laut Cina Selatan tapi jarang sekali ada kapal Indonesia yang mau menolong. Komisi PBB tahu tentang adanya peraturan dari Pemerintah Indonesia yang tidak mengizinkan Nakhoda kapal mengangkat dan membawa para pengungsi Vietnam ke wilayah Indonesia.
Komisioner PBB menyampaikan kekagumannya atas sikap saya yang menurut hukum internasional justru dibenarkan. Tapi ia pun mengakui masalah pengungsi Vietnam ini bisa menyulitkan semua pihak, terutama bagi diri saya pribadi sebagai Nakhoda, karena meskipun secara internasional tindakan saya dibenarkan tetapi risiko selanjutnya akan sangat tergantung pada sikap Pemerintah RI atau bahkan sikap dari perusahaan tempat saya bekerja, yaitu Andhika Lines.
Sesudah itu Petugas Imigrasi menyerahkan dokumen yang harus saya tandatangani. Di situ disebutkan nama kapal, Nakhoda, jumlah pengungsi lengkap dengan nama-nama mereka. Saya pun diminta menandatangani pernyataan yang menyebutkan bahwa saya bertanggungjawab terhadap keberadaan para pengungsi Vietnam itu jika mereka melarikan diri setibanya di Hongkong.
Tak lupa dicantumkan beberapa ancaman hukuman bagi seorang Nakhoda apabila melarikan diri dari kapal. Setelah dua jam diperiksa, selanjutnya kami diperbolehkan mengangkat jangkar menuju Pelabuhan Hongkong untuk mengikatkan kapal di buoy 16, tempat di mana kami akan membongkar muatan. Pukul 08.00 pagi kami baru selesai mengikatkan buoy dengan rantai jangkar.
Saya kumpulkan semua Perwira, ABK dan juga para Pengungsi Vietnam itu. Saya panggil salah seorang di antara mereka yang bisa berbahasa Inggris, saya jelaskan bahwa saat itu kapal beserta para pengungsi sudah berada di perairan Hongkong dengan selamat. Saya tunjukkan peta di mana kami mengangkat mereka.
Juga saya katakan bahwa seandainya mereka tidak kami angkat berdasarkan berita cuaca yang sudah kami terima bahwa tempat itu dilalui oleh badai tropis, tentunya mereka semua sudah mati, karena siapa pun yang saat itu berada di laut dan berhadapan dengan badai tropis tidak akan tertolong lagi. Jadi sekarang, dengan keberadaan mereka di atas kapal kami, nyawa mereka telah kami selamatkan.
Kami tidak meminta uang sepeser pun kepada mereka. Hanya permintaan saya jangan sampai ada yang melarikan diri. Karena bila ada salah seorang saja yang melarikan diri, saya sebagai Nakhoda diancam hukuman dua tahun penjara dengan denda sekitar 7500 dolar AS. “Saya tidak mempunyai uang untuk membayar denda tersebut, sehingga tentunya saya harus masuk penjara apabila kalian yang sudah saya tolong justru melarikan diri,” kata saya.
Ucapan saya itu diteruskan kepada para pengungsi melalui penerjemah. Tiba-tiba kami larut dalam suasana haru. Sebab, begitu mereka mengerti apa yang telah saya sampaikan, serta merta mereka membungkuk, menyembah, sebagai ungkapan terimakasih atas bantuan yang diberikan oleh seluruh Awak Kapal. Melalui penerjemah, mereka berjanji akan memenuhi permintaan saya dan tidak akan melanggar aturan.
Saya menyadari, inilah suatu tindakan yang didasarkan pada hati nurani. Naluri kemanusiaan lebih banyak berbicara, ketimbang pertimbangan untung rugi. Selanjutnya saya beserta beberapa Perwira segera melaporkan kejadian ini kepada Pimpinan Perwakilan Perusahaan kami di Hongkong. Kami pun meninggalkan kapal menuju ke kantor Agen. Turut pula beberapa ABK yang kebetulan memerlukan pengobatan. Peta dan laporan berita acara berikut daftar nama para pengungsi kami bawa untuk dilaporkan.
Tiba di kantor Agen kami bertemu dengan Bapak Prabowo, Manajer Pemasaran. Ia menyambut kami dengan ramah dan menjabat tangan saya. Ternyata ia telah mendengar berita tentang pengungsi Vietnam yang kami angkat. Katanya, ia sudah tahu betul sifat saya karena itu ia bisa memahami keputusan dan tindakan yang saya ambil.
Kemudian saya mohon diizinkan untuk melapor melalui telepon kepada Pimpinan di kantor pusat Jakarta dan memperoleh jawaban bahwa Pimpinan akan mengupayakan jalan keluar melalui jalur diplomatik.
Terlintas lagi di ingatan saya paman saya yang memahami betul mengenai Hukum Laut Internasional yaitu Menteri Kehakiman Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja. Saya menelepon beliau dan mendapat jawaban yang memberikan harapan bahwa beliau akan berusaha menyelesaikan masalah Pengungsi Vietnam ini secepatnya.
Saya kembali ke kapal dan lega melihat kesehatan para pengungsi berangsur-angsur pulih dan mulai segar bugar. Kepada semua ABK saya berpesan agar bersikap ramah, jangan sampai mengganggu atau merampas harta benda atau kekayaan yang mereka miliki. Tetapi para ABK mengatakan, para pengungsi itu tidak membawa apa-apa, hanya mengenakan pakaian yang melekat di badan.
Tak Berpikir Untung Rugi
Sudah dua hari kami menunggu dengan cemas. Apa yang harus kami lakukan? Karena dua hari lagi pembongkaran muatan selesai dan kapal harus segera meninggalkan Pelabuhan Hongkong menuju Pelabuhan Wham Poa di daratan Cina untuk mengangkut muatan general cargo menuju Surabaya.
Sulit dibayangkan apabila dalam dua hari lagi kami tidak mendapat berita dan kepastian penyelesaian masalah pengungsi Vietnam ini, tentunya persoalan ini bisa menjadi besar. Kami bisa mengalami keterlambatan. Apa yang dikhawatirkan Manajer Operasi akan menjadi kenyataan!
Memasuki hari ketiga jawaban yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang. Seorang utusan dari Agen Perusahaan kami di Hongkong menyerahkan sepucuk surat yang isinya membuat kami lega bahkan seluruh awak kapal dan para pengungsi sangat bergembira. Ternyata dalam waktu tiga hari itu pihak UNHCR di Hongkong berhasil memutuskan bahwa semua pengungsi dapat meninggalkan kapal dan akan diterbangkan ke negara yang akan menampung mereka, yaitu Australia. Kabarnya Pemerintah Australia – mengingat usia para pengungsi tidak terlalu tua – bersedia menampung mereka.
Pukul 12.00 waktu Hongkong, Tongkang yang menjemput para pengungsi sudah merapat di kapal. Segera kami kumpulkan para pengungsi. Saya jelaskan bahwa kini mereka sudah boleh turun dari kapal. Besok mereka akan diterbangkan ke Australia untuk menetap di sana. Mendengar hal itu serta merta air muka mereka berubah. Saya melihat wajah-wajah yang semula pasrah dan nyaris tidak memiliki semangat hidup kini berganti cerah penuh harapan Terutama karena mereka tahu Australia adalah negara yang maju, tenteram, makmur dan sejahtera.
Ketika hendak meninggalkan kapal dengan perasaan penuh haru mereka menjabat tangan seluruh Awak Kapal, sebagian memeluk dan menangis sedih, lalu satu per satu menuruni tangga dan meninggalkan kapal. Setengah jam kemudian seluruh pengungsi sudah berada di kapal Tongkang, bergerak perlahan meninggalkan kami, saling melambaikan tangan tanpa berkata-kata lagi, bercampur antara sedih karena berpisah dengan kami dan gembira karena bayangan hari depan yang jauh lebih baik ketimbang di negerinya sendiri yang dilanda kekacauan.
Setelah jauh dan lepas dari pandangan mata, saya kumpulkan para ABK di salon. “Inilah akhir dari suatu peristiwa yang harus kita alami bersama. Kita sudah keluar dari kesulitan ini karena saya yakin bahwa tindakan yang kita laksanakan dengan penuh kesadaran, dengan penuh ketulusan, dengan keteguhan menghadapi kesulitan, maka …tentunya atas izin dan bantuan Allah Yang Maha Kuasa kita bisa dilepaskan dari permasalahan ini,” kata saya.
Beberapa hari setelah peristiwa pengungsi Vietnam itu, saya menyusun laporan secara kronologis kepada pimpinan PT. Andhika Lines di Jakarta, dalam bentuk berita acara dengan nomor 288/ATN/VII/81. [selesai]