Surabaya, Mediatrans.Id – Saat mentari pagi memantulkan cahaya ke permukaan air Selat Madura, kapal-kapal perlahan merapat ke dermaga-dermaga luas Pelabuhan Tanjung Perak. Aktivitas sibuk ini bukanlah sesuatu yang baru. Selama lebih dari satu abad, pelabuhan ini telah menjadi denyut nadi perdagangan Indonesia timur.
Namun, siapa sangka, pelabuhan kebanggaan Surabaya ini lahir dari keterbatasan. Pada abad ke-19, kapal-kapal besar kesulitan menembus sempit dan dangkalnya Kalimas. Arus barang yang meningkat membuat proses bongkar muat lewat tongkang menjadi tak efisien. Saat itulah mimpi tentang pelabuhan baru di utara Surabaya mulai terbentuk.
Gagasan itu sempat tertunda selama puluhan tahun, hingga akhirnya, pada 1910, pembangunan dimulai. Ir. VB van Goor dan timnya membuka jalan bagi hadirnya Pelabuhan Tanjung Perak. Tahun 1925 menjadi tonggak penting: seluruh aktivitas pelabuhan dipindah dari Jembatan Merah ke Tanjung Perak. Dari sinilah babak baru perdagangan maritim Indonesia dimulai.
Tanjung Perak tak hanya bertahan di tengah gejolak sejarah—dari penjajahan Jepang hingga kemerdekaan RI—tetapi juga terus berevolusi. Di era Orde Baru, pelabuhan ini menyandang berbagai status kelembagaan, dari PN Pelabuhan hingga akhirnya tergabung dalam satu entitas PT Pelindo di bawah Regional 3, sebuah perusahaan modern yang dituntut profesional sekaligus menguntungkan.
Kini, wajah Tanjung Perak benar-benar berubah. Terminal Jamrud, yang dahulu sempit dan kerap kewalahan melayani kapal, tengah direvitalisasi menjadi terminal modern dengan fasilitas canggih. Tak hanya untuk bongkar muat barang, tetapi juga dilengkapi “garbarata” untuk penumpang kapal laut—layaknya bandara.
Sementara itu, Terminal Nilam Timur menjelma dari terminal konvensional menjadi multipurpose terminal yang efisien, dilengkapi container crane dan RTG. Terminal Kalimas, yang pernah menjadi pusat bongkar muat setelah era Jembatan Merah, diarahkan menjadi kawasan wisata budaya. Terminal Mirah dan Teluk Lamong menjadi simbol transformasi logistik nasional berbasis teknologi dan efisiensi tinggi.
“Kalau dulu semua fokus ke kapal dan barang, kini kami berpikir lebih luas—soal kenyamanan penumpang, efisiensi logistik, dan dampak ekonomi bagi kawasan,” ujar salah satu pejabat Pelindo yang terlibat dalam pembangunan terminal modern tersebut.
Tanjung Perak bukan lagi sekadar pelabuhan. Ia adalah saksi sejarah, pusat perdagangan, dan kini, wajah baru logistik Indonesia Timur. Di pelabuhan inilah, masa lalu dan masa depan berjumpa, dalam satu gelombang perubahan yang terus bergerak maju. (Karnali Faisal)