Jakarta, Mediatrans.id – Di sebuah ruang rapat di kantor Walikota Jakarta Utara, peta wilayah Koja terbentang lebar di atas meja. Garis-garis batas lahan digores dengan spidol merah, menandai lokasi pembangunan Unit Terminal Petikemas III (UTPK III) yang telah dirancang sejak awal 1990-an.
Di balik meja itu duduk Soeprawito, Walikota Jakarta Utara kala itu, wajahnya tampak serius membaca laporan demi laporan kondisi lapangan yang terus berdatangan.
Pemerintah DKI Jakarta kala itu, berada di persimpangan. Di satu sisi, kebutuhan modernisasi pelabuhan Tanjung Priok sangat mendesak.
Volume petikemas diprediksi melonjak drastis hingga 1,5 juta TEUS pada 1995, sementara kapasitas eksisting hanya mampu menampung setengahnya.
Negara membutuhkan infrastruktur baru—besar, efisien, dan berstandar internasional. Apalagi pertumbuhan ekonomi waktu itu rata-rata mencapai 8% per tahun.
Di sisi lain, terdapat sejumlah warga Koja Utara yang telah bermukim sekian lama di lahan tersebut menolak relokasi. Mereka menuntut ganti rugi yang jauh melebihi standar yang disiapkan pemerintah dan PT Pelindo II waktu itu.
Pemerintah mencoba menjadi penengah. Musyawarah demi musyawarah digelar, dengan harapan bisa menjembatani jurang tuntutan. Pelindo menawarkan harga tanah antara Rp 100.000 hingga Rp 160.000 per meter persegi, berdasarkan penilaian ekonomis dan kelayakan proyek saat itu.
Namun sebagian warga bersikukuh menolak angka tersebut. Di tengah kebutuhan proyek yang harus jalan dan suara masyarakat yang menolak, pemerintah menghadapi dilema: tunduk pada tuntutan yang tak bisa dibenarkan secara anggaran, atau meneruskan pembangunan di tengah belum selesai semuanya urusan pembebasan lahan.
Langkah akhirnya diambil: sebagian lahan dibebaskan, sebagian lain tetap dinegosiasikan sambil pembangunan perlahan dimulai di wilayah yang telah clear. Aparat keamanan diturunkan untuk menjaga obyek vital nasional dan juga menjaga agar suasana tetap kondusif.
Di tahun 1990-an waktu itu UTPK III bukan proyek biasa. Nilainya mencapai Rp 1,06 triliun, dengan panjang dermaga hampir satu kilometer dan kapasitas mencapai 1,2 juta TEUS. Terminal ini akan menjadi simpul logistik nasional, pusat bisnis maritim, sekaligus penunjang aktivitas perdagangan internasional yang makin dinamis.
“Kalau kita terus menunda, dampaknya bukan hanya ke Jakarta, tapi ke seluruh jaringan perdagangan Indonesia,” kata Amir Harbani, Direktur Utama PT Pelindo II, dalam pernyataannya.
Bagi pemerintah, TPK Koja adalah contoh nyata betapa rumitnya membangun infrastruktur di tengah permukiman lama. Ia bukan sekadar soal beton dan alat berat, tapi soal kompromi antara pembangunan dan aspirasi masyarakat yang mendiami kawasan itu.
Meski tak semua pihak puas, pemerintah berusaha melangkah di atas landasan sempit: memenuhi kepentingan publik tanpa mengabaikan aspirasi masyarakat yang harus direlokasi.
Kini, UTPK III yang menjadi TPK Koja merupakan proyek terakhir yang peresmiannya langsung dilakukan Presiden Soeharto pada 26 Februari tahun 1998. Terminal ini menjadi salah satu simbol dari efisiensi logistik nasional.
Meskipun dalam catatan sejarah mereka yang menyusun kebijakan di masa sulit itu, setiap kontainer yang lewat di terminal itu membawa cerita: tentang tekanan, negosiasi, dan keputusan-keputusan berat yang diambil demi mrnyelamatkan ekonomi Indonesia dari stagnasi karena kongesti pelabuban.*** (Karnali Faisal)