Jakarta, Mediatrans.Id – Managing Partner of Helios Capital and Lecturer of Universitas Tarumanegara, Dr Hadi Cahyadi mengungkapkan bahwa bisnis keluarga memegang peran penting di ekonomi global. Tercatat, 80 persen GDP atau Produk Domestik Bruto (PDB) disumbang oleh bisnis keluarga.
“Family business contribute employment and GDP. Di dunia itu 60 persen private sector disumbang oleh bisnis keluarga, dan 80 persen GDP dunia dipegang oleh, dikontribusi oleh bisnis keluarga,” kata Hadi dalam sebuah kegiatan bertajuk “Longetivity of Family Business Amid The Challenge of Continuous Disruption” di Jakarta beberapa waktu lalu.
Meski demikian, dalam perbincangan dengan Helmy Yahya yang membahas topik tentang konsep keberlanjutan bisnis keluarga, Hadi menjelaskan bahwa hanya 30% bisnis keluarga yang mampu bertahan hingga generasi kedua, dan dari angka itu, hanya 13% yang mencapai generasi ketiga. Lebih mencengangkan lagi, hanya 3% yang bisa melampaui batas itu.
Fenomena yang dikenal dengan istilah “kutukan generasi ketiga ini diisebutnya bukan isapan jempol.
“Ini bukan kutukan, tapi statistik,” ujarnya lugas.
Apa yang membuat bisnis keluarga runtuh di tangan keturunan berikutnya? Menurut Hadi, jawabannya ada pada tiga kata kunci: Parenting, Harmonizing, dan Collaborating—yang ia rumuskan sebagai PHC Triangle. Ia mengembangkan teori ini melalui wawancara mendalam dengan empat keluarga konglomerat Indonesia, mewawancarai hingga 27 orang dari tiga generasi.
Parenting, kata Hadi, adalah pondasi. Di sinilah nilai-nilai keluarga ditanamkan. Anak-anak yang sejak kecil disibukkan dengan kenyamanan dan fasilitas mewah, tanpa memahami perjuangan orang tuanya, kerap tumbuh jauh dari semangat dan nilai pendiri bisnis. “Anak-anak harus diajak bicara sejak kecil, diajak memahami dunia usaha, bahkan diajak magang. Bukan sekadar diajak liburan atau bermain golf,” ungkapnya.
Harmonizing, lanjutnya, adalah seni menjaga kerukunan dalam keluarga besar. Ia menekankan pentingnya family constitution, dokumen yang menjadi pedoman bersama tentang hak, kewajiban, serta visi keluarga. “Kalau keluarga sudah mulai ‘risi’, itu sinyal awal. Sebelum menjadi ‘rusuh’, perlu ada kesepakatan yang mengikat,” ujar Hadi.
Sementara itu, Collaborating menyoroti pentingnya keterlibatan profesional non-keluarga dalam manajemen bisnis. Hadi menyebut bahwa perusahaan besar yang berhasil cenderung membuka ruang bagi eksekutif dari luar, dan memperlakukan mereka layaknya keluarga, melalui sistem meritokrasi dan penghargaan yang personal.
Di tengah tawa dan kisah-kisah inspiratif, Helmy Yahya menambahkan, “Kalau anak kita tidak tahu bagaimana kita berdarah-darah membangun usaha, mereka tidak akan menghargai warisan itu. Mereka perlu diajak terlibat, bukan dimanjakan.”
Percakapan ini bukan sekadar refleksi personal dua tokoh. Ia adalah pengingat bahwa di balik megahnya perusahaan keluarga Indonesia, ada pekerjaan rumah besar: membina generasi penerus yang tidak hanya mewarisi kekayaan, tapi juga nilai dan semangat juangnya.
“Kalau kita ingin Indonesia 2045 menjadi negara besar, kita butuh bisnis keluarga yang kuat dan berkelanjutan,” pungkas Hadi.* (Karnali Faisal)