Jakarta, Mediatrans.id – Wakil Ketua Komisi V DPR RI dari Fraksi Gerindra, Andi Iwan Aras, menyatakan perhatian Presiden Prabowo Subianto terhadap penertiban truk over dimension over loading (ODOL) membawa angin segar bagi upaya penyelesaian masalah tersebut.
Menurutnya, Komisi V sudah sejak lama mendorong tercapainya target zero ODOL, namun realisasinya masih menghadapi banyak tantangan.
“Kita dari Komisi V DPR bukan baru sekarang mengejar zero ODOL. Beberapa tahun lalu pun sudah kami dorong agar persoalan ODOL ini bisa diantisipasi dan diselesaikan,” ujar Andi di Jakarta, Jumat (25/4/2025).
Andi menilai, instruksi langsung dari Presiden akan memperkuat posisi DPR dalam mempercepat penataan regulasi terkait ODOL. Ia menambahkan, perhatian dari Kepala Negara membuat penyusunan payung hukum menjadi lebih mudah dan mendorong koordinasi lintas kementerian.
“Ini angin segar buat kita. Dengan perhatian Presiden, tentu akan lebih memudahkan mitra kerja Komisi V untuk berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan, Kepolisian, hingga Kementerian Perindustrian,” ujarnya.
Sekolah Pengemudi
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), menilai maraknya pelanggaran over dimension over load (ODOL) di Indonesia salah satunya disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan para pengemudi truk.
Plt Ketua Subkomite Lalu Lintas Angkutan Jalan KNKT, Ahmad Wildan, menjelaskan bahwa berbeda dengan moda transportasi lain seperti pesawat, kapal, dan kereta api, pengemudi bus dan truk di Indonesia tidak melalui proses pendidikan dan sertifikasi yang terstruktur.
Ia mencontohkan bagaimana seorang pilot harus melewati tahapan ketat, mulai dari Student License Pilot, Private License Pilot, hingga sertifikasi Commercial License Pilot setelah mengantongi 1.500 jam terbang. Selain itu, pilot juga diwajibkan memiliki sertifikasi khusus untuk setiap jenis pesawat yang diterbangkan.
Proses serupa juga berlaku bagi nakhoda kapal dan masinis kereta api yang harus mengantongi sertifikat bertingkat seperti ANT 5 hingga ANT 1. Namun, Wildan menilai pengemudi bus dan truk di Indonesia selama lebih dari 20 tahun terakhir tidak pernah mendapatkan pendidikan serupa.
“Mereka belajar mengemudi secara otodidak dari teman-temannya, tanpa pelatihan formal,” ujar Wildan.
Menurut KNKT, perbedaan teknologi kendaraan, termasuk sistem rem hidrolik, pneumatic, hingga perkembangan otronik dan mekatronik, menuntut adanya pengetahuan teknis yang memadai dari pengemudi. Tanpa pendidikan formal, pengemudi berisiko melakukan kesalahan fatal seperti kasus truk trailer di Bekasi yang membawa muatan 70 ton, padahal kendaraan hanya dirancang untuk 35 ton.
Wildan menegaskan bahwa tindakan overloading bukan semata-mata karena keberanian pengemudi, melainkan akibat ketidaktahuan mereka tentang konsep dasar seperti power to weight ratio dan risiko kecelakaan yang ditimbulkannya.
Sejalan dengan amanat Pasal 77 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, KNKT merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera mendirikan sekolah mengemudi khusus bagi pengemudi bus dan truk, sekaligus meningkatkan kualitas pengemudi saat ini melalui program pendidikan dan pelatihan (diklat).
“Profesionalisme pengemudi harus dibarengi dengan upah layak agar mereka bisa mengoperasikan kendaraan dengan nyaman dan aman,” tegas Wildan.* (Karnali Faisal)