Jakarta, Mediatrans.Id – Di balik senyum teduhnya, ada puluhan ribu jam terbang, ratusan ribu kilometer langit, dan cerita-cerita yang menghamparkan haru serta rasa kagum.
Namanya Abdul Aziz Hamid — kapten pilot yang pernah menerbangkan Presiden Republik Indonesia, pejabat tinggi dunia, hingga petinggi TNI. Namun di matanya, semua itu bukan sekadar prestasi.
“Itu semua hanya karena izin Allah,” katanya penuh syukur.
Langit yang Tak Pernah Menjanjikan Kepastian
Dunia penerbangan memang selalu menyimpan misteri. Perawatan sudah dilakukan, tapi iInsiden kecelakaan pesawat berkali-kali terjadi di berbagai belahan dunia. Ada yang bertabrakan dengan kawanan burung di udara. Ada pula yang diduga terkena percikan rudal di zona konflik.
“Setiap pilot tahu, begitu throttle ditekan dan roda meninggalkan landasan, separuh hidupnya sudah diserahkan ke langit,” ujar Kapten Aziz.
Namun, bukan berarti semua berpangku tangan pada nasib. Dengan gaya bercerita yang renyah dan penuh humor, ia menjelaskan betapa ketatnya prosedur keselamatan — dari pengecekan mesin hingga briefing kecil bersama pramugari sebelum boarding penumpang.
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian itu, ketenangan menjadi mata uang paling berharga. “Kalau kaptennya stres, pramugarinya stres. Kalau pramugarinya stres, penumpang bisa panik semua,” katanya, tertawa kecil.
Burung, Mesin, dan Doa yang Tak Pernah Putus
Satu tema yang terus bergulir sepanjang percakapan adalah fenomena “bird strike” — insiden burung masuk ke dalam mesin jet. Terkadang, hanya seekor burung kecil sudah cukup membuat mesin jet raksasa kehilangan tenaga.
Lalu mengapa, tanya kami, dunia penerbangan modern belum menciptakan pelindung mesin dari burung?
Kapten Aziz menggeleng pelan. “Karena aerodinamika. Kalau dipasang filter, pesawat malah melambat, mengganggu performa terbang.”
Ia melanjutkan, bahwa ikhtiar manusia — membangun radar pendeteksi burung, melatih prosedur darurat, hingga menata pola lepas landas — tetaplah penting. Namun, ada satu hal yang tak bisa ditaklukkan: kehendak Tuhan.
Maka, setiap penerbangan dimulai dengan wudhu, doa, dan restu ibu. “Kalau semua sudah dilakukan, kita tinggal berserah. Bukan pasrah, tapi tawakal,” tegasnya.
Dunia di Balik Kokpit: Bukan Sekadar Menjadi Pilot
Kisah hidup Kapten Abdul Aziz lebih berliku daripada rute penerbangan internasional. Berpindah-pindah sekolah, meniti karier dari Merpati Nusantara Airlines hingga TNI AU, menerbangkan pesawat tempur, pesawat VIP, hingga maskapai komersial — semua dijalani dengan satu prinsip: integritas.
“Yang saya cari cuma satu: terbang dengan aman, mendarat dengan selamat, dan membuat semua penumpang nyaman,” tuturnya.
Bagi Kapten Aziz, menjadi pilot bukan hanya tentang skill. Tapi tentang membawa kehormatan: kehormatan untuk menjaga nyawa, untuk menjaga nama bangsa, dan untuk menjaga amanah yang digenggam di antara awan.
Penumpang, Duduk Manis, dan Percayalah
Dalam riuh rendah dunia digital, sering kali penumpang salah paham. Ada yang menolak memakai sabuk pengaman saat takeoff. Ada pula yang marah saat dilarang ke toilet waktu pesawat hendak mendarat.
Kapten Abdul Aziz mengingatkan sederhana: “Jika instruksi diberikan, patuhi. Awak pesawat sudah dilatih untuk skenario terburuk. Do your part: duduklah, tenanglah, dan percayalah.”
Mengajarkan Dunia Melalui Awan
Kini, setelah 33.000 jam lebih di langit, Kapten Abdul Aziz memilih untuk membagikan pengalamannya kepada dunia. Melalui media sosial, seminar, hingga diskusi santai, ia berharap bisa menanamkan semangat safety, profesionalisme, dan keikhlasan kepada generasi muda penerbangan.
“Terbanglah setinggi mungkin,” katanya, “tapi jangan pernah lupa daratan.”
Dalam suaranya yang tenang, tersimpan gemuruh badai dan kedamaian langit biru. Seperti langit yang ia cintai, Abdul Aziz Hamid mengajarkan bahwa dalam hidup, kita semua adalah pilot. Kita semua membawa nyawa, harapan, dan doa — dalam perjalanan yang jauh lebih panjang daripada sekadar jarak antarkota pada setiap rute penerbangan.*(Karnali Faisal)