Jakarta, Mediatrans.id – Pasca macet horor yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok beberapa waktu lalu, masih terbuka kemungkinan terulangnya peristiwa yang sama jika dikaitkan dengan masih berlangsungnya ketidakpastian situasi global.
Meskipun masih perlu verifikasi, dampak situasi global terhadap layanan pelabuhan tentu saja menarik. Paling tidak bisa menjadi bahan diskusi bagi para pemangku kepentingan di pelabuhan.
Ada beberapa fakta yang mengemuka di industri pelayaran saat ini.
Pertama, sejak akhir 2023, kapal-kapal dagang yang biasanya melewati Terusan Suez kini harus memutar jauh ke selatan, melewati Tanjung Harapan, Afrika. Serangan-serangan kelompok Houthi di Laut Merah menyebabkan banyak perusahaan pelayaran menghindari jalur utama itu.
Dampaknya, jalur dari Asia ke Eropa yang semula hanya 38 hari kini bisa mencapai 56 hari. Dampak lanjutannya, jadwal kapal menjadi tidak menentu. Antrean di pelabuhan Asia meluas. Kapal-kapal terlambat, dan begitu tiba di Indonesia, bisa jadi bersamaan.
Saat ini terjadi, terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok tentu akan kewalahan. Harap maklum, jika dalam kondisi normal hanya satu atau dua kapal, akan merepotkan jika tiba-tiba harus mengatur tiga atau empat kapal.
Sampai di sini sudah bisa dibayangkan dampak berikutnya. Kegiatan bongkar muat dipacu semaksimal mungkin. Antrean truk naik dua kali lipat. Macet di dalam dan di luar pelabuhan.
Kedua, ketidakseimbangan jumlah kontainer di pasar internasional. Kontainer-kontainer kosong terkonsentrasi di negara-negara tertentu saja.
Negara yang membutuhkan kontainer kosong harus mengimpor sehingga berdampak pada kenaikan tarif pengapalan petikemas sebagai dampak dari ketidakseimbangan jumlah kontainer di pasar internasional. Dampak lanjutannya tentu saja berpotensi mengerek biaya logistik.
Slow Steaming
Ketiga, meningkatnya biaya operasional kapal sebagai akibat dari perubahan rute pelayaran menjadi lebih jauh membuat operator shipping line harus melakukan strategi untuk menyiasatinya.
Sejumlah perusahaan pelayaran global kini mengadopsi strategi _slow steaming_—mengurangi kecepatan kapal untuk menghemat bahan bakar. Hasilnya cukup mencengangkan: penurunan kecepatan dari 27 ke 18 knot bisa menghemat hingga 59% konsumsi bahan bakar.
Namun, strategi ini butuh koordinasi tinggi. Sebab jika kapal jadi lebih lambat, pelabuhan juga harus lebih akurat dalam jadwal dan perencanaan operasional.
Fenomena “out of windows'” di terminal pelabuhan bisa saja terjadi. Karena itu, implementasi teknologi dan kolaborasi antarterminal menjadi kata kunci.
Bagi Indonesia, kondisi ini masih ditambah lagi kemungkinan membanjirnya barang-barang impor dari luar negeri di tengah masih berlangsungnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Bagi pengelola pelabuhan, ini berarti membutuhkan kesiapan pelayanan sistem logistik yang terintegrasi.
Indonesia memang masih diuntungkan karena sebagian besar jadwal kapal masih “feeder” ke Singapura. Baru beberapa saja ocean going yang direct, dan itu pun masih Intraasia.
Namun demikian, sebagai langkah antisipatif tak ada salahnya jika terminal-terminal petikemas di Pelabuhan Tanjung Priok yang melayani kapal-kapal internasional saling sharing tentang kemungkinan perubahan-perubahan kedatangan kapal tersebut. Termasuk mengantispasi keadaan kapal yang datang bersamaan (out of windows).
Sumber Mediatrans.Id yang dimintai pendapatnya mengatakan sinergi window antarterminal khususnya di Pelabuhan Tanjung Priok tentu tidak mudah untuk dijalankan. Problemnya, masing-masing terminal sudah memiliki kontrak agreement dengan masing-masing shipping line.
Apalagi shipping line besar yang menjalankan kontrak berdasarkan persetujuan dari Head Quarter mereka di negara asal perusahaan pelayaran tersebut.
Last but not least, Tanjung Priok tetaplah hub port yang menjadi etalase logistik nasional dan harus tetap dijaga kondusifitasnya.
Sebab saat terjadi penumpukan layanan kapal di satu terminal, dampaknya akan sangat berpengaruh terhadap kondisi arus lalu lintas baik di dalam maupun pelabuhan.
Karena itu, sinergi dan kolaborasi para pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi ketidakpastian pengiriman global. Pelabuhan Tanjung Priok sudah banyak melakukan inovasi dan juga digitalisasi, satu lagi yang harus diperkuat: kolaborasi.*** (Karnali Faisal)