Jakarta, Mediatrans.id – Selama hampir satu dekade, transportasi daring atau ojek online dipromosikan sebagai solusi penyediaan lapangan kerja baru oleh pemerintah. Namun, data resmi justru menunjukkan fakta yang sebaliknya. Berdasarkan survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan tahun 2019, hanya 18 persen pengemudi ojek online yang sebelumnya menganggur, dan pada 2022 pun angkanya tetap stagnan di 16,09 persen.
Artinya, mayoritas pengemudi ojek daring dulunya sudah bekerja di sektor lain. Maka klaim bahwa transportasi daring menciptakan lapangan kerja baru perlu dikaji ulang.
Lebih parah lagi, data dari Badan Kebijakan Transportasi Kemenhub menunjukkan mayoritas mitra pengemudi bekerja lebih dari 8 jam per hari dengan pendapatan di bawah Rp3,5 juta per bulan. Mereka harus menanggung biaya operasional sendiri, menerima sedikit atau bahkan tidak pernah mendapatkan bonus, serta tidak memiliki jaminan kesehatan, libur, maupun kepastian pendapatan. Status sebagai “mitra” hanya ilusi yang membebaskan aplikator dari tanggung jawab sebagai pemberi kerja.
Dampak dari penyesuaian tarif yang diberlakukan lewat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022, nyatanya tak sebanding dengan harapan peningkatan kesejahteraan.
Faktanya, pesanan justru menurun setelah tarif naik, membuat penghasilan mitra kian tergerus. Di sisi lain, pengguna pun mulai mengurangi penggunaan ojek online karena tarif baru dianggap mahal, terlebih berbarengan dengan naiknya harga BBM.
Bisnis transportasi daring gagal menyejahterakan para mitranya.
Janji manis pada awal kemunculannya, yang menyebut penghasilan bisa mencapai Rp8 juta per bulan, kini hanya tinggal kenangan. Kegagalan ini dipicu oleh minimnya regulasi, potongan tinggi oleh aplikator, dan ketidakseimbangan antara jumlah pengemudi dan permintaan.
Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno, menyarankan pemerintah tidak terus mengandalkan pihak swasta dalam mengatur transportasi daring.
“Jika ingin melindungi masyarakat dan memastikan kesejahteraan pengemudi, perlu pendekatan regulasi yang lebih adil dan tegas. Sepeda motor yang digunakan sebagai alat transportasi umum seharusnya tunduk pada regulasi angkutan umum—mulai dari uji kir, plat kuning, hingga SIM C umum,” paparnya.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata tersebut mencontohkan Kabupaten Asmat di Papua sudah menerapkan ojek sebagai angkutan umum sejak 2011, lengkap dengan Perda dan Perbup yang mengaturnya. Kota itu bahkan menggunakan kendaraan listrik dan plat kuning.
Pemerintah pusat bisa meniru langkah seperti di Korea Selatan, yang membuat aplikasi resmi untuk taksi demi melindungi sopir dari tekanan aplikator swasta. Jika perlu, aplikasi transportasi daring bisa dibuat oleh pemerintah dan diserahkan kepada daerah untuk dioperasikan.
Saatnya berhenti menyebut ojek daring sebagai pencipta lapangan kerja baru. Yang dibutuhkan saat ini adalah perlindungan hukum dan skema kerja yang manusiawi, bukan glorifikasi ekonomi digital yang nyatanya tidak berpihak pada rakyat kecil.* (MT-01/R,)