Jakarta, Mediatrans.id – Tak ada yang sederhana dari dunia pelayaran di negeri ini. Ini adalah perjalanan penuh liku, benturan antara idealisme dan realita birokrasi, antara visi logistik modern dan medan yang belum siap mendukungnya.
Indonesia adalah negeri kepulauan—terdiri dari lebih 17 ribu pulau—tapi ironisnya, pelayaran justru menjadi sektor yang terkesan ditinggalkan. Seolah-olah laut hanya penghubung, bukan urat nadi.
Dulu kita sering mendengar kalau harga semen di kawasan timur Indonesia jutaan rupiah per sak, padahal di wilayah Indonesia lainnya harganya cuma Rp50 ribu.
Realita ini menggambarkan bahwa persoalan utama bukan kelangkaan barang, melainkan logistik yang tidak efisien. Padahal, konsep short sea shipping atau pelayaran jarak pendek yang diterapkan melalui program tol laut seharusnya mampu menekan biaya distribusi.
Namun, lagi-lagi masalahnya struktural. Kapal yang berlayar dari Surabaya ke Sorong bisa pulang dalam keadaan kosong karena tidak ada muatan balik. Ini membuat biaya sekali jalan harus menanggung dua arah.
Seperti taksi yang mengantar penumpang ke Kelapa Gading, tapi harus muter-muter tiga jam untuk cari penumpang balik. Tidak efisien, dan tentu saja mahal.
Itu artinya, mengorganisasi sistem agar kapal tidak kosong saat kembali adalah kunci efisiensi logistik. Ada perusahaan yang menerapkan sistem one stop logistics, mengurus semua dari perizinan, bongkar-muat, hingga manajemen armada. Namun semua itu tentu belum cukup bila sistem pendukung tak seirama.
Salah satu akar masalahnya adalah investasi kapal di Indonesia yang tidak menarik. Bayangkan saja, harga kapal mahal karena 90 persen komponennya impor, bunga bank tinggi, tenor kredit hanya empat sampai lima tahun, dan biaya operasional yang membengkak karena ketidakseimbangan muatan.
Belum lagi soal maintenance. Di luar negeri, biaya perawatan adalah investasi yang dijadwalkan rutin. Di sini sebaliknya, maintenance dianggap beban. Maka tak heran jika usia kapal Indonesia hanya bertahan 10-15 tahun, jauh di bawah standar internasional 25-30 tahun.
Belum lagi kalau bicara pelaut yang seharusnya menjadi kebanggaan negara maritim, justru masih banyak menyisakan persoalan. Tak sedikit pelaut yang masih berjuang meningkatkan kesejahteraan, perlindungan hukum, dan peningkatan kompetensi.
Diakui atau tidak, realitasnya memang masih Ironis. Di negeri maritim, pembiayaan investasi pelayaran belum dianggap menguntungkan.
Namun seiring dengan keterbukaan pemerintah memperhatikan sektor maritim kita berharap terjalin kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan asosiasi untuk membenahi sistem dari hulu ke hilir. Termasuk memanfaatkan teknologi digital, seperti Internet of Things (IoT) dan AI, untuk membangun manajemen pelayaran yang efisien.
Karena itu, kemauan politik dan keberpihakan pada sektor pelayaran merupakan sebuah keniscayaan. Pembangunan wilayah tidak akan pernah menyentuh pulau-pulau terpencil jika tidak ada kapal yang menjangkaunya. Maka, pelayaran bukan sekadar bisnis—ia adalah infrastruktur dasar negara kepulauan.
Kita meyakini pelayaran Indonesia bisa bangkit—asal semua pihak yang disebutkan tadi mau berkolaborasi, bersatu, dan bergerak bersama.*(Karnali Faisal/berbagai sumber)