Jakarta, Mediatrans.id – Di usia yang telah melewati tujuh dekade, Kapten Antin Kartini masih tampak bersemangat ketika bercerita tentang samudra, dek kapal, dan ruang anjungan. Lahir di Sumedang pada 25 Desember 1945, ia bukan hanya pelaut perempuan pertama yang menjadi nakhoda kapal niaga di Indonesia, tetapi juga simbol keberanian menembus dominasi dunia maritim yang maskulin.
Kisahnya dimulai dari keterbatasan. “Saya anak tentara, adik banyak. Ayah bilang saya harus cari sekolah ikatan dinas,” ujarnya mengenang masa remaja. Pilihannya jatuh pada Akademi Ilmu Pelayaran (AIP), tempat ia menjadi bagian dari angkatan pertama jurusan nautika yang menerima perempuan. Hanya sembilan perempuan dari ratusan taruna, ia termasuk yang bertahan. “Hampir putus asa. Tapi kita digembleng supaya tidak cengeng.”
Mualim Perempuan Pertama
Setelah lulus pada 28 Oktober 1970, Kapten Kartini mulai berlayar bersama PT Pelni di atas KM Tampomas I. Di kapal itulah ia menjadi mualim perempuan pertama, posisi yang saat itu belum pernah diduduki oleh perempuan di Indonesia.
Menjadi satu-satunya perempuan di atas kapal bukan perkara mudah. Namun, Kartini justru mendapat dukungan dari suaminya sesama pelaut. “Ijazahmu jangan digantung. Kamu harus berlayar,” kata suaminya yang menguatkannya sejak awal. Dukungan itu menjadi kunci karier Kartini, bahkan saat ia harus berlayar dalam keadaan hamil lima bulan. Kapten kapal saat itu, Marto Pranoto, dikenal disiplin, namun memberi ruang dan perlakuan istimewa karena komitmen dan sikap profesional Kartini.
Tantangan, Diskriminasi, dan Solidaritas
Dalam pengalamannya, Kartini mengaku tidak pernah mengalami kekerasan atau diskriminasi langsung. “Justru ibu-ibu istri perwira yang kadang takut saya ganggu suami mereka. Padahal saya hanya bekerja,” katanya sambil tertawa.
Namun, tantangan tak pernah absen. Ia pernah ditubruk kapal kayu saat bertugas sebagai mualim, atau harus menghadapi anak buah yang mabuk. “Saya kasih tahu: saya kasih pinjam, tapi cuma sekali ini. Jangan buat minum lagi.”
Disiplin dan ketegasan itulah yang menjadikan ia dihormati. “Kita dididik jadi pemimpin. Harus bisa membatasi diri. Profesional,” katanya.
Membawa Kapal dari Jerman
Titik puncak kariernya datang pada 1991 ketika ia dipercaya membawa kapal KM AWU milik Pelni dari Jerman ke Indonesia. Dalam pelayaran selama 29 hari itu, ia menjadi nakhoda perempuan pertama yang memimpin kapal ocean-going, lengkap dengan struktur perwira dan anak buah kapal.
“Pak Habibie yang mendorong saya. Dulu beliau dosen saya di AIP. Saya ditugaskan jadi Owner-Surveyor, dan dari situ dipercaya membawa kapal,” kisahnya.
Di kapal itu, ia bukan hanya nakhoda, tetapi juga sosok ibu. “Kadang saya ke dapur bikin donat. Kita seperti keluarga,” katanya, menepis anggapan bahwa perempuan tak bisa memimpin di laut.
Antara Karier dan Keluarga
Kartini adalah contoh langka perempuan yang mampu menjaga karier dan keluarga secara seimbang. Ketika anak-anaknya sakit, ia tetap berlayar karena percaya pada dukungan suami dan keberadaan orang tua di rumah. Bahkan ia pernah hanya bisa melambaikan tangan dari dek kapal kepada suaminya yang bekerja di kapal keruk di pelabuhan Tanjung Priok.
“Saling percaya itu penting. Saya nggak mungkin bisa kalau suami nggak restui,” ujarnya.
Warisan untuk Srikandi Maritim
Pengakuan terhadap kiprah Kartini datang belakangan. Tahun 2016, ia dianugerahi gelar sebagai nakhoda perempuan pertama Indonesia oleh Politeknik Maritim Negeri Indonesia. Tahun 2019, ia juga menerima penghargaan dari Women in Maritime Indonesia (WIMA).
Kini, ia menjadi pengajar di berbagai akademi pelayaran, termasuk STIP dan AMI Jadayat, memberi motivasi bagi generasi pelaut perempuan. Ia aktif di IFMA (Indonesian Female Mariner Association), mendorong lahirnya kode etik pelaut dan perlindungan terhadap perempuan di atas kapal.
Pesannya jelas: “Kerja di laut itu tidak seseram yang dibayangkan, asal kita profesional dan fokus pada tujuan.” Perempuan, katanya, bisa menjadi pemimpin di laut tanpa kehilangan jati diri sebagai istri dan ibu.
Kapten Kartini bukan hanya menyeberangi samudra, tapi juga membelah lautan stigma dan ekspektasi. Sosoknya adalah mercusuar bagi pelaut-pelaut muda perempuan yang ingin membuktikan bahwa ombak tak selalu harus ditaklukkan oleh lelaki.* (Karnali Faisal)