Jakarta, Mediatrans.id — Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menyaksikan pergeseran besar dalam wajah transportasi publik. Ojek online (ojol) merajai jalanan kota dan desa sebagai solusi cepat atas kelumpuhan sistem angkutan umum. Namun di balik popularitasnya, tersimpan potret buram: negara mengabaikan pembenahan transportasi rakyat.
Pemerhati transportasi Muhammad Akbar menyebut kehadiran ojol adalah cermin kekurangmampuan pemerintah dalam menyediakan moda transportasi publik yang layak, aman, dan berkeadilan.
“Dulu mereka sopir angkot, angkudes, bus AKDP. Tapi karena sistem transportasi formal mati suri, mereka terpaksa banting setir jadi pengemudi ojol,” ujar Akbar, Rabu (22/5/2025).
Transportasi Umum Terpinggirkan
Anggaran minim, trayek kacau, dan terminal terbengkalai jadi potret umum di banyak daerah. Di sisi lain, ojol hadir fleksibel, cepat, dan mampu menjangkau gang sempit — mengisi kekosongan yang semestinya diisi negara.
Namun solusi instan ini menimbulkan masalah jangka panjang: sistem transportasi nasional menjadi makin informal, tidak terintegrasi, dan pengemudinya terjebak dalam ketidakpastian sosial-ekonomi.
Rehabilitasi Total Sistem Transportasi
Muhammad Akbar menegaskan, jika Indonesia serius membangun konektivitas dan keadilan sosial, maka pembenahan angkutan umum dari hulu ke hilir adalah keharusan.
“Ini bukan sekadar proyek teknis. Ini soal martabat bangsa. Transportasi adalah hak dasar,” tegasnya.
Ia mendorong langkah konkret pemerintah meliputi:
• Integrasi antarmoda di setiap kota dan kabupaten
• Insentif dan rute jelas bagi operator lokal
• Re-skilling sopir angkutan yang terpinggirkan
• Fokus ke transportasi pedesaan dan wilayah terpencil
Jika dilakukan serius, Indonesia tak hanya mengurangi ketergantungan pada ojol, tapi juga membuka kembali lapangan kerja formal bagi ribuan pengemudi angkutan lama yang kini hidup dalam ketidakpastian.*(MT-03/R)