Jakarta, Mediatrans.id – Bayangkan sebuah kapal canggih, dibangun dengan teknologi terbaik, dipoles megah dari haluan ke buritan. Namun, tak ada yang bisa mengemudikannya. Tak ada awak yang paham arah angin, membaca peta, atau menanggapi badai. Apa gunanya kapal sebesar itu jika hanya akan melayang tanpa arah di samudra luas?
Itulah metafora paling tepat untuk pembangunan infrastruktur transportasi kita hari ini. Rel kereta cepat dibangun. Bandara dan pelabuhan diperluas. Jalan tol dibentangkan dari pesisir ke pegunungan. Tapi satu hal yang masih tertinggal: manusianya.Sumber Daya Manusia (SDM) transportasi bukan sekadar operator mesin atau teknisi lapangan.
Mereka adalah nahkoda yang menentukan arah kemajuan bangsa. Mereka penentu apakah investasi triliunan rupiah pada infrastruktur akan menjadi pengungkit ekonomi, atau justru sekadar simbol tanpa substansi. Maka, pertanyaan besar yang harus kita ajukan hari ini: sudahkah kita cukup serius menyiapkan manusianya?
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP) Kementerian Perhubungan memang telah melangkah progresif. Transformasi pendidikan vokasi, penguatan instruktur, hingga kerja sama internasional menjadi langkah berani di tengah ketertinggalan lama kita.
Pendirian Indonesia Maritime Science and Techno Park (IMarSTP) menjadi langkah strategis membangun kesadaran: masa depan transportasi tak bisa dilepaskan dari penguasaan teknologi dan inovasi SDM.
Namun satu lembaga, bahkan satu kementerian, tak cukup untuk menjawab tantangan sebesar ini. Kita bicara soal 2045, tahun ketika Indonesia bercita-cita menjadi negara maju. Kita bicara tentang sistem transportasi yang akan menopang 300 juta penduduk, melayani perdagangan global, dan bersaing dalam revolusi industri berbasis otomasi dan kecerdasan buatan.
Bisakah semua itu diwujudkan hanya dengan kurikulum lama, ruang kelas pengap, dan praktik kerja seadanya?Jawabannya tentu tidak. Dunia usaha harus berhenti menjadi penonton. Industri transportasi—dari pelayaran, logistik, hingga manufaktur kendaraan—harus terlibat sejak dari meja penyusunan kurikulum.
Mereka harus membuka pintu bagi pemagangan, berbagi teknologi, dan bahkan menanam investasi di lembaga pendidikan vokasi. Jika tidak, kita akan terus mencetak lulusan yang hanya hafal teori, tapi gagap saat berhadapan dengan mesin modern atau sistem digital terbaru.
Sudah saatnya kita menggeser paradigma: pendidikan transportasi bukan pelengkap pembangunan fisik, tapi fondasi utamanya. Investasi pada manusia lebih berkelanjutan daripada beton dan baja. Infrastruktur memang bisa menghubungkan wilayah, tapi hanya manusia yang bisa menggerakkan mimpi besar bangsa.Lihat negara-negara yang kini berada di puncak: Jepang, Jerman, Korea Selatan.
Mereka bukan hanya membangun rel, tetapi juga membangun karakter. Mereka melatih generasi muda untuk berpikir sistematis, bekerja presisi, dan menghormati waktu. Mereka tidak pernah memisahkan antara teknologi dan manusia.Indonesia tak boleh puas hanya dengan menjadi pasar.
Kita harus menjadi pencipta. Dan itu dimulai dari SDM transportasi yang adaptif, kritis, dan inovatif. Kita butuh generasi yang bukan hanya tahu cara mengendarai kapal, tapi juga bisa merancangnya, memeliharanya, bahkan menciptakan kapal jenis baru yang belum pernah ada.
Jangan salah: membangun manusia adalah kerja paling sulit dan paling mahal. Tapi itu juga yang paling berharga.Maka mari kita berhenti memuja bangunan fisik semata. Rel, tol, bandara, pelabuhan—semua itu hanya akan menjadi rel kosong tanpa penggerak, jika kita gagal membentuk SDM unggul.
Indonesia tak butuh lebih banyak kapal jika tak ada yang bisa mengemudikannya. Indonesia butuh lebih banyak nahkoda. Dan itu artinya: pendidikan dan pelatihan SDM transportasi harus menjadi prioritas nasional, bukan catatan kaki dalam rencana pembangunan.*(Karnali Faisal/Berbagai Sumber)