Oleh: Ahmad Wildan
Plt Ketua Subkomite Lalu Lintas Angkutan Jalan, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT)
Di jalan-jalan negeri ini, kematian kerap datang dalam kecepatan tinggi—dan sering kali tanpa sempat memberi tanda. Ia meluncur di balik kemudi bus wisata, atau di belakang truk bermuatan berat yang tak bisa berhenti. Kita menyebutnya “rem blong”, seakan itu takdir. Padahal, nyawa-nyawa itu gugur bukan karena takdir, tetapi karena kelalaian.
Mari kita jujur, hampir setiap pekan kita mendengar kabar bus terbalik, truk menghantam rumah warga, atau kendaraan masuk jurang. Dan alasan yang terus berulang: rem tidak berfungsi. Bila kita telusuri lebih dalam, faktor manusia selalu menjadi benang merah. Bukan hanya soal teknik mengemudi, tetapi juga soal sikap: lalai memeriksa kendaraan, mengemudi dalam kondisi lelah, bahkan memaksakan diri meski sedang sakit.
Mengapa Rem Bisa “Blong”?
Rem blong bukan semata akibat sistem rem yang rusak. Justru lebih sering terjadi karena cara mengemudi yang keliru di jalan menurun: menggunakan gigi tinggi, mengerem berulang-ulang hingga tekanan angin hilang, dan rem menjadi overheat. Tragedi di Gekbrong, Sukabumi, yang menewaskan 18 orang pada 2016, adalah contoh nyata. Truk melaju 100 km/jam, gigi netral, tekanan angin di bawah standar. Sistem rem bekerja sesuai desainnya, tetapi dikalahkan oleh keputusan salah pengemudi.
Kasus lainnya, seperti di Subang dan Belik, memperlihatkan pengabaian pada pemeriksaan kendaraan sebelum beroperasi. Ada kebocoran pada relay valve, jarak kampas rem yang tidak sesuai standar, atau bahkan sistem penerangan jalan yang mati sehingga pengemudi salah mempersepsi medan jalan.
Ada juga penyebab lain yang tak kalah berbahaya: microsleep, tidur sesaat saat mengemudi. Ini terjadi ketika tubuh dipaksa terus terjaga tanpa istirahat yang cukup. Bayangkan, seorang sopir mengemudi nonstop selama 30 jam dalam rombongan wisata Surabaya–Dieng–Yogyakarta. Tidak ada pengemudi cadangan, tidak ada waktu tidur. Apakah ini perjalanan liburan atau undangan maut?
Kompetensi, Disiplin, dan Kejujuran
Solusinya sebenarnya sederhana namun memerlukan kedisiplinan tinggi. Pertama, pastikan kondisi tubuh sehat dan bugar sebelum berkendara. Tidur cukup, tidak mengonsumsi obat yang menyebabkan kantuk, dan perhatikan pola makan. Kedua, jangan mengemudi lebih dari 12 jam. Tubuh manusia punya batas. Mesin bisa diganti, nyawa tidak.
Ketiga, lakukan pemeriksaan kendaraan secara menyeluruh. Jangan hanya melihat tekanan ban dan lampu. Periksa sistem rem, pastikan tidak ada kebocoran angin, kampas dalam kondisi baik, dan minyak rem tidak tercampur air. Lakukan prosedur simulasi kehilangan tekanan angin. Ini bukan teori, ini prosedur penyelamatan nyawa.
Keempat, pahami teknik mengemudi di jalan menurun. Gunakan gigi rendah sejak awal, aktifkan exhaust brake, dan jangan memindahkan gigi di tengah jalan menurun karena risiko masuk netral sangat tinggi. Gigi netral adalah undangan maut dalam medan menurun.
Kelima, kenali rute perjalanan. Jangan andalkan GPS semata. Pelajari jalur baru sebelum berangkat. Bila perlu, minta rambu tambahan kepada otoritas jalan jika rute gelap atau minim informasi. Ini bukan soal profesionalisme semata, tapi tanggung jawab terhadap penumpang dan sesama pengguna jalan.
Dan akhirnya, jujurlah. Jika tubuh tidak sanggup, jika rasa kantuk datang, berhentilah. Jika kendaraan bermasalah, jangan abaikan. Jujur pada diri sendiri adalah rem terakhir yang menyelamatkan banyak nyawa.
Menolak Takdir yang Bisa Dicegah
Tidak ada yang disebut “kecelakaan takdir” jika kita bisa mencegahnya. Rem blong bukan takdir, microsleep bukan nasib buruk, dan jalan menurun bukan lubang maut. Semua bisa dicegah dengan kompetensi, disiplin, dan kejujuran.
Sebagai bangsa, kita terlalu sering belajar dari tragedi, tapi cepat melupakan. Sudah saatnya pengemudi tidak hanya diajari bagaimana mengemudi, tapi juga mengapa harus bertanggung jawab.
Karena setiap rem yang blong, adalah hati yang longgar. Dan setiap kecelakaan yang bisa dicegah tapi tetap terjadi, adalah kejahatan dalam diam.*(MT-01/R)