Jakarta, Mediatrans.id – Di tengah hempasan krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19, banyak orang memilih bertahan pada zona aman. Namun, tidak demikian dengan Ricky, sebut saja demikian, lulusan sebuah akademi pelayaran ini justru memilih sebuah langkah yang, oleh banyak orang, mungkin dianggap gila: mengundurkan diri dari pekerjaannya dan memulai usaha sendiri di sektor keagenan kapal.
Langkah itu bukan tanpa dasar. Sejak awal, Ricky menyadari bahwa dunia pelayaran bukan hanya tempatnya bekerja, tetapi juga panggilan jiwanya. Selama bertahun-tahun, ia mengumpulkan pengalaman dari berbagai perusahaan pelayaran, termasuk yang mengageni kapal-kapal asing yang sandar di dermaga pelabuhan di sini.
Namun, keputusan untuk benar-benar membangun perusahaan sendiri datang di saat yang sangat tidak ideal: awal tahun 2020, ketika dunia sedang goyah.
“Orang bilang saya nekat,” katanya “Tapi saya merasa justru saat itulah momen untuk menunjukkan bahwa saya serius.”
Perusahaan keagenan sebenarnya telah didirikan sejak 2016, namun baru mendapatkan izin penuh pada 2017. Sayangnya, meski perusahaan telah berdiri secara hukum, dia belum memiliki satu pun pelanggan tetap ketika memutuskan untuk fokus penuh.
“Waktu itu, saya hanya taruh nama sebagai Komisaris Utama. Tapi setelah resign, saya sadar saya harus benar-benar menghidupi ini,” ujarnya.
Menghidupi perusahaan tanpa klien tentu bukan perkara mudah. Modal awal yang disyaratkan untuk mendirikan perusahaan keagenan kapal mencapai angka fantastis: enam miliar rupiah. Untungnya, pada masa itu, pembuktian finansial tidak seketat sekarang. Ricky cukup menyetor dana sekitar 250 juta ke rekening perusahaan. Namun bukan angka itu yang membuatnya bertahan, melainkan keyakinan dan jaringan.
“Yang namanya alumni itu bukan sekadar simbol. Teman-teman saya, terutama yang satu angkatan, banyak bantu,” kata Ricky. Salah satunya adalah Arnold, teman satu kamar saat kuliah, yang kemudian memberikan kesempatan pertamanya untuk mengageni kapal dari sebuah perusahaan pelayaran domestik.
Setelah hampir setahun berjalan tanpa pemasukan tetap, akhirnya kapal pertama bersandar. Momen itu menjadi titik balik. Perlahan-lahan, portofolio perusahaan Ricky bertambah. Hari ini, perusahaannya menangani sekitar 15 perusahaan pelayaran, meski frekuensinya tak tentu—kadang sebulan sekali, kadang dua bulan.
Namun keagenan kapal bukan sekadar bisnis administrasi. Di balik layar, agen kapal memikul tanggung jawab besar: memastikan waktu sandar efisien, mengatur perpindahan kru, pengisian air tawar, bahkan mendampingi aktivitas bea cukai dan sertifikasi kapal.
“Kalau kapal lama di pelabuhan, bukan agen yang untung, tapi pemilik dermaga. Kita justru ingin semua cepat selesai,” ujar Ricky menegaskan tanggung jawab moral agennya.
Meski begitu, kompetisi semakin ketat. Jumlah perusahaan keagenan kapal terus bertambah, sementara kue pasar tidak banyak berubah. “Bukan lagi soal siapa tercepat, tapi siapa yang bisa berkolaborasi,” ujarnya sambil menyebut pentingnya peran asosiasi seperti ISAA (Indonesia Shipping Agency Association) untuk menjaga ekosistem usaha yang sehat.
Kini, Ricky tidak hanya ingin menjadi agen kapal. Ia bermimpi menjadi pemilik kapal sendiri. “Kalau terus jadi agen, kita hanya menjalankan. Tapi kalau jadi owner, kita bisa menentukan arah. Saya ingin naik kelas,” ujarnya penuh semangat.
Di dinding kantornya sebuah ruko di Tanjung Priok, Ricky menempelkan kalimat yang menjadi filosofi hidupnya: Never Give Up. Sebuah pengingat bahwa di balik setiap dermaga yang sunyi, selalu ada kapal yang sedang bersiap untuk berlayar. Seperti dirinya, yang perlahan tapi pasti, meniti arus untuk meraih mimpi. (MT-01/02)