Jakarta, Mediatrans.id – Indonesia sedang berdiri di titik kritis dalam sejarah tata kelola transportasi dan logistik nasional. Setelah bertahun-tahun hanya mengandalkan penertiban sebagai solusi, kini Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) dengan lantang menyatakan: reformasi menyeluruh adalah satu-satunya jalan keluar.
Di balik kecelakaan maut, jembatan ambruk, jalanan rusak, dan sopir truk yang kehilangan martabatnya, tersembunyi satu akar masalah: sistem logistik nasional yang rusak dan tak berpihak pada manusia.
Sejak 2023, pemerintah menjanjikan kebijakan ZERO ODOL (Over Dimension Over Load) akan diberlakukan secara efektif. Tapi hingga hari ini, kebijakan itu tak kunjung jadi kenyataan. Bahkan setelah pergantian presiden, truk-truk bermuatan berlebih masih leluasa melintas, menebar ancaman di setiap ruas jalan nasional.
Data Kementerian PUPR menyebutkan, kerusakan jalan akibat ODOL menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp43 triliun per tahun. Belum termasuk nyawa melayang yang tak ternilai harganya. Truk kini menempati posisi kedua penyebab kecelakaan fatal di Indonesia, setelah sepeda motor.
Zero ODOL: Janji yang Tak Kunjung Tiba
Sejak 2023, pemerintah menjanjikan kebijakan ZERO ODOL (Over Dimension Over Load) akan diberlakukan secara efektif. Tapi hingga hari ini, kebijakan itu tak kunjung jadi kenyataan. Bahkan setelah pergantian presiden, truk-truk bermuatan berlebih masih leluasa melintas, menebar ancaman di setiap ruas jalan nasional.
Data Kementerian PUPR menyebutkan, kerusakan jalan akibat ODOL menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp43 triliun per tahun. Belum termasuk nyawa melayang yang tak ternilai harganya. Truk kini menempati posisi kedua penyebab kecelakaan fatal di Indonesia, setelah sepeda motor.
Sopir Truk: Korban Sistem yang Membungkam
Di tengah sorotan terhadap truk ODOL, sopir truk kerap menjadi kambing hitam. Mereka disalahkan jika terjadi kecelakaan, padahal merekalah yang paling menderita: tanpa perlindungan hukum, tanpa standar jam kerja, dan dirampok pungli hingga 35% dari ongkos angkut, seperti diungkap KNKT.
“Mengemudi kendaraan di Indonesia itu artinya siap jadi tersangka,” keluh seorang sopir dengan nada getir.
Tak heran, profesi sopir truk kini krisis peminat. Di saat kebutuhan distribusi barang melonjak, Indonesia justru menghadapi kekurangan pengemudi. Ironi yang mencerminkan kerusakan sistemik.
Jembatan Timbang: Macan Ompong di Era Digital
Sarana pengawasan seperti jembatan timbang sudah tak relevan lagi. Banyak di antaranya rusak, ketinggalan zaman, atau sarat pungli. Teknologi modern seperti Weight-in-Motion belum diimplementasikan secara luas. Bahkan, sekitar 80% truk lolos uji KIR tanpa proses sebenarnya.
Terminal barang, pelabuhan darat, dan simpul logistik lain tumbuh tanpa perencanaan terpadu. Hasilnya, truk menjadi moda dominan bahkan di jalur yang lebih cocok untuk KA atau kapal laut. Sistem transportasi barang di Indonesia tumbuh liar tanpa arah.
MTI: Tiga Langkah Menuju Reformasi Logistik Nasional
MTI menegaskan bahwa masalah ODOL adalah cermin kekacauan tata kelola logistik nasional. Karenanya, penertiban semata tidak cukup. Dibutuhkan reformasi struktural lintas sektor, dan MTI menawarkan tiga solusi konkret:
1. Masterplan Simpul dan Lintasan Angkutan Barang Terintegrasi
MTI mendorong Kementerian Perhubungan menyusun Masterplan Nasional Angkutan Barang yang menyatukan pelabuhan, jalan tol, stasiun kereta, bandara, dan kawasan industri. Targetnya: mengalihkan beban logistik dari jalan ke moda yang lebih ramah infrastruktur.
2. Roadmap Tata Kelola Distribusi Barang
Kementerian Perindustrian dan Perdagangan harus bertanggung jawab atas distribusi barang sejak dari pabrik. Harus ada regulasi manifest, SOP pengemasan, dan sanksi bagi pemilik barang yang memaksa sopir melanggar hukum.
3. Kebijakan Logistik Nasional Berbasis Supply Chain
Indonesia membutuhkan kebijakan logistik terpadu yang menjembatani sektor transportasi, industri, perdagangan, dan ketenagakerjaan. Sopir truk harus diakui sebagai profesi formal dengan standar gaji, jam kerja, dan perlindungan hukum.
ZERO ODOL: Bukan Lagi Sekadar Razia
Kebijakan ZERO ODOL tak boleh berhenti di razia dan larangan. Ia harus jadi pintu masuk untuk membangun sistem logistik modern, manusiawi, dan berdaya saing global. Sebuah sistem yang mampu menghubungkan hulu-hilir distribusi, mengintegrasikan antar moda, dan memuliakan peran sopir sebagai pilar utama ekonomi.
Sudah waktunya negara hadir dengan kebijakan yang melindungi rakyatnya. Bukan hanya demi jalan yang awet atau ekonomi yang efisien, tapi demi menyelamatkan nyawa, martabat, dan masa depan para pelaku logistik Indonesia.*(MT-01/R)